Thursday, March 19, 2009

Kualitas Parpol Kualitas Demokrasi

Diterbitkan Rakyat Merdeka online

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=137&page=1

Jumat, 06 Maret 2009, 18:27:44 WIB


Catatan: Buya A. A. Aru Bone*


Partai politik (parpol) merupakan institusi demokrasi yang secara langsung menentukan kualitas demokrasi. Posisi signifikan parpol ini disebabkan fungsi dan perannya di pemilu, pilkada dan lembaga legislatif di pusat dan daerah.

Ketika pemilu dan pilkada, parpol berperan sebagai institusi yang menyeleksi, menganalisa dan menentukan pencalonan para pasangan kepala daerah, capres dan wapres, serta para calon anggota legislatif di pusat dan daerah, sebelum dihidangkan di atas meja pemilu dan pilkada untuk dipilih oleh rakyat pemilih.

Di lembaga legislatif pusat dan daerah, peran parpol juga sangat signifikan dan menentukan. Melalui fraksinya yang merupakan perwakilan parpol di lembaga legislatif di pusat dan daerah, parpol merupakan satu-satunya instutusi yang mengarahkan, bahkan menentukan pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Karena dalam prakteknya, mekanisme pengambilan keputusan di DPR/DPRD menempuh mekanisme kesepakatan fraksi, bukan mekanisme voting dan musyawarah.

Maka dalam menjalankan fungsi dan hak budgeting, pengawasan dan legislasi di DPR/DPRD, para wakil rakyat sesungguhnya kerap merepresentasikan dirinya sebagai wakil parpol. Mereka kerap tidak independen karena terancam hak recall parpol atau khawatir tidak dicalonkan pada pemilu selanjutnya.

Di DPR, mekanisme kesepakatan fraksi kerap ditempuh dalam pemilihan (persetujuan) para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti, MA, MK, BPK, serta para pimpinan lembaga-lembaga independen negara seperti, KPK, Dewan Gubernur BI, Komnas HAM, anggota KPU, anggota Panwaslu, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, anggota KPPU. Demikian pula persetujuan atas calon Kepala Polri, Panglima TNI dan para Duta Besar yang diusulkan Presiden.

Sampai disini, sebaiknya dipahami bahwa kualitas pemilu, pilkada, presiden dan wapres, kualitas para pasangan kepala daerah, kualitas para anggota DPR dan DPRD, demikian juga kualitas para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara dan lembaga-lembaga independen negara, semuanya sangat bergantung pada kualitas parpol.

Dengan kata lain, kiranya cukup proporsional jika dikatakan, bahwa kualitas parpol secara langsung berpengaruh pada kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau, kualitas parpol secara signifikan menentukan kualitas demokrasi.

* * *

Kualitas parpol titik tekannya adalah kualitas pengelolaan parpol. Kualitas pengelolaan parpol di Indonesia pada umumnya tidak konsisten dengan aturan pengelolaan partai yang secara normatif tertera pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) tiap parpol yang secara umum, dalam tataran normatif dapat dikatakan cukup demokratis.

Berdasarkan sejumlah interaksi saya -sebagai wartawan politik- dengan sejumlah pimpinan parpol kelas menengah dan besar, serta mencermati dinamika partai politik yang diberitakan media massa, secara umum dapat dikatakan, ada tiga kultur yang menyebabkan kualitas pengelolaan parpol berisiko melenceng dan merusak mekanisme demokratis internal parpol terkait pengambilan keputusan parpol yang secara normatif diatur dalam AD/ART parpol bersangkutan.

Pertama, kultur politik uang. Secara off the record, sejumlah pimpinan parpol besar dan menengah, serta sejumlah calon anggota legislatif DPR mengkonfirmasi praktek politik uang di lingkungan parpolnya.

Dalam bentuk terselubung, praktek politik uang mempopulerkan istilah-istilah, uang mahar dalam pilkada, uang pembinaan daerah pemilihan dan jual beli kursi.

Kepada saya beberapa caleg DPR dan DPRD pernah juga mengakui harus membayar sekian ratus juta agar menempati nomor jadi caleg DPR di beberapa partai politik atau dicalonkan dari daerah pemilihan basah.

Bahkan di hadapan saya, seorang ketua umum partai Islam gurem pernah meminta seorang kadernya menyiapkan uang Rp400 juta untuk pencalonan sang kader di nomor urut 1 di daerah pemilihan DKI Jakarta (sebelum hadirnya putusan MK tentang suara terbanyak). Ini kisaran angka partai gurem. Tentu jumlah yang jauh leih besar harus disediakan jika di parpol besar.

Praktek politik uang di lingkungan parpol tidak hanya terjadi di ranah pemilu dan pilkada, tapi juga di lembaga legislatif DPR/DPRD. Melalui mekanisme pengambilan keputusan kesepakatan fraksi, pimpinan parpol juga memiliki bargain potition dalam pemilihan sejumlah pimpinan lembaga tinggi dan lembaga independen negara.

Fenomena praktek politik uang sesengguhnya marak terjadi di lembaga legislatif pusat dan daerah. Terungkapnya beberapa kasus anggota DPR yang tertangkap tangan oleh KPK menerima suap dari rekanan atau komponen pelaksana negara, adalah sedikit contoh yang karena sedang sial, ia pun tertangkap.

Suap di lembaga legislatif pada prinsipnya bukan diterima oleh individu anggota legislatif saja, tetapi dikucurkan secara kolektif kepada mayoritas anggota Komisi dan Fraksi (yang merupakan perwakilan parpol) karena persetujuan budgeting atas suatu usulan program atau proyek yang diajukan oleh lembaga eksekutif, persetujuan pemilihan pimpinan lembaga tinggi dan lembaga independen negara, adalah keputusan kolektif fraksi dan komisi. Karena itu tidak masuk akal jika suap hanya diterima oleh satu atau dua anggota legislatif saja.

Bila kebijakan suatu parpol di tingkat internal dan lembaga legislatif (melalui fraksinya) didominasi oleh politik uang, pastilah akan berbuah korupsi sistematis dalam pengelolaan negara di legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga negara lainnya. Logikanya, ya logika dagang. Uang yang digunakan sebagai investasi politik bukan hanya harus balik modal, tapi untung berlipat ketika menjabat.

Kedua, budaya feodal. Feodalisme adalah antitesa demokrasi. Tetapi anehnya, ada beberapa parpol menengah dan besar justeru sengaja menumbuhkan dan memelihara feodalisme di internal parpol. Tidak sulit bagi kita menyebut beberapa partai yang berkarakter feodalistik.

Seperti halnya politik uang, secara internal feodalisme juga bersifat destruktif terhadap kemandirian berbagai mekanisme internal pengambilan keputusan politik parpol di pusat dan daerah. Dalam praktek politik Indonesia , feodalisme menempatkan restu ketua umum parpol, apalagi instruksinya sebagai titah suci yang wajib dipatuhi. Feodalisme kerap menempatkan berbagai mekanisme pengambilan keputusan parpol di tingkat internal hanya sebagai kedok dan formalitas. Karena itu, feodalisme parpol pasti merusak iklim demokrasi di internal parpol.

Ketiga, budaya konflik. Dengan hanya memperhatikan berita media massa , tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan budaya konflik marak terjadi di sejumlah parpol. Memang benar, ada satu dua parpol yang lumayan matang mengelola konflik internal. Tapi umumnya, parpol tak mampu mengelola konflik internal.

Selain karena faktor kedewasaan politik para pimpinan parpol, konflik internal parpol kerap bermotif rebutan kuasa. Kondisi ini terjadi karena menempatkan parpol sebagai alat memperoleh kekuasaan semata alias demi pragmatisme politik tok. Ini dimungkinkan karena banyak politisi terjun ke politik dengan idealisme minim, bahkan demi mencari nafkah semata.

Tiga kultur tersebut, menurut saya, secara signifikan menyebabkan kualitas pengelolaan parpol berisiko melenceng dan merusak mekanisme demokratis internal parpol yang secara normatif diatur dalam AD/ART parpol bersangkutan.

Hancurnya demokrasi di internal parpol menemukan akselerasinya karena parpol-parpol di kepengurusan tingkat pusat dan daerah, umumnya belum memiliki manajemen organisasi profesional dan efektif, minim sumberdaya manusia dan mengalami kendala pendanaan.

Nah, jika dalam pengambilan keputusan terkait pencalonan capres/cawapres, pencalonan para anggota legislatif di pusat dan daerah, pencalonan para kepala daerah. Demikian pula dalam mengemban tugasnya di lembaga legislatif di pusat dan daerah, parpol lebih didominasi politik uang, feodalisme dan konflik rebutan kuasa, maka rakyat pemilih hanya akan menjadi objek pelengkap penderita.

Sementara pemilu, pilkada, dan berbagai mekanisme pengambilan keputusan di lembaga legislatif di pusat dan daerah hanya sekadar prosedur. Hasilnya, demokrasi pun sekadar demokrasi prosedural yang rendah mutu, rendah kualitas dan tak mampu melahirkan good governance di pusat dan daerah. Wallahu a’lam

Demokrasi Mutanajis

Diterbitkan Rakyat Merdeka online

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=136&page=1

Jumat, 27 Februari 2009, 13:20:52 WIB

Oleh: Buya A.A. Aru Bone


Sepanjang 10 tahun reformasi dan demokratisasi, Indonesia telah melakukan pembaharuan pada sejumlah aspek sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada aspek politik, negeri ini panen pujian dari komunitas internasional karena merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Diantaranya, karena penerapan sistem pemilu langsung untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan para anggota DPR/DPRD. Serta pilkada langsung untuk pemilihan para gubernur, bupati dan walikota. TNI yang selama Orde Baru terlibat politik praktis melalui Dwi Fungsi, kini telah kembali ke barak sembari melakukan pembaharuan internal menuju tentara profesional. Partai politik bukan hanya tidak diawasi seperti masa Orde Baru, tapi juga tumbuh subur karena sistem multipartai.

Pada aspek pengelolaan pemerintahan, pelaksanaan pemerintahan semasa Orde Baru yang sentralistik, kini berganti wajah Otonomi Daerah. Para gubernur, bupati, walikota dan DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, kini bebas dan berhak penuh menentukan arah pembangunan daerah, administrasi dan perencanaan, serta pengelolaan keuangan daerah.

Dalam aspek ketatanegaraan, sistem tata negara kita kerap disebut sempurna menyusul hadirnya Mahkamah Konstitusi yang berwenang menangani sengketa antar lembaga tinggi negara, pertentangan Undang Undang dengan Undang Undang Dasar, serta penyelesaian sengketa hasil pilkada dan pemilu.

Untuk aspek peradilan dan penegakan hukum, Mahkamah Agung yang merupakan benteng terakhir keadilan, kini bukan lagi subordinasi pemerintah karena secara independen berwenang penuh mengatur dirinya sendiri dari segi anggaran, penempatan dan pembinaan hakim serta pemilihan pimpinan Mahkamah Agung.

Tidak sampai di situ, Reformasi juga menghadirkan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian yang berwenang mengawasi, menilai, bahkan menjatuhkan (merekomendasikan) sanksi terhadap para penyidik kepolisian, hakim dan jaksa dalam penanganan suatu perkara.

Di aspek perbankan. Bank Indonesia yang berwenang menentukan arah ekonomi makro, devisa serta pengelolaan dan pengaturan sistem perbankan nasional, kini juga independen bukan lagi merupakan subordinasi presiden.

Sementara di aspek bisnis dan usaha, kini hadir Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha yang independen dan berwenang memeriksa, menilai, mengawasi dan memberi sanksi bagi badan usaha yang melenceng dari prinsip-prinsip usaha yang adil dan bersih.

Di tingkat sosial, pers yang kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi, kini secara penuh menikmati kebebasan mengemukakan pendapat, mengawasi dan mengkritik pelaksanaan pengelolaan negara pada berbagai aspek dan tingkatan. Komponen masyarakat sipil pun kini bebas berserikat dan bersuara, LSM tumbuh subur tanpa pengawasan apalagi pelarangan. Bahkan para pekerja pun bebas berserikat, bersama memperjuangkan hak-haknya.

Reformasi juga melahirkan lembaga indepanden yang memiliki kewenangan super guna terciptanya pelaksaan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab, seperti Komisi Pembarantasan Korupsi dengan segenap perangat perundangan dan peradilannya, serta Badan Pemeriksa Keuangan.

Menurut akal sehat, pembaharuan pada aspek politik, hukum, peradilan, ekonomi, perbankan, sosial dan ketatanegaraan yang telah terlaksana dengan baik di atas, semestinya tidak lagi memberi kita alasan untuk bermasalah dengan kualitas kepemimpinan dan penyelengaraan pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Reformasi sistemik pada banyak aspek bernegara di atas seharusnya menghadirkan good governance pada semua aspek dan lapisan pengelolaan negara.

Tapi kenyataannya, korupsi bukan saja masih marak tapi pemberantasannya masih tebang pilih dan tebang untung, pemborosan keuangan negara jamak terjadi pada setiap aspek dan lapisan institusi negara, pelaksanaan pemerintahan di Pusat dan Daerah minim accountabilitas. Seperti halnya korupsi, nepotisme dan kolusi pun masih dimaklumi sebagai bentuk usaha mempertahankan hidup, putusan hukum dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik pun masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Masyarakat umumnya masih jauh dari standar hidup sejahtera karena ketiadaan distribusi keadilan ekonomi.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apa yang kurang dengan pembaharuan sistem demokrasi kita?

Najis di Hulu
Jika reformasi dan demokratisasi diibaratkan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, maka selama 10 tahun Indonesia telah sukses menciptakan sistem dan lembaga-lembaga demokrasi di ujung sana , di hilir.

Reformasi memang telah menggerakan bandul kekuasaan dari tangan Soeharto di masa Orde Baru ke tangan rakyat. Namun harus diingat, bahwa sesungguhnya rakyat tidak pernah menggenggam kekuasaan. Dengan sistem demokrasi keterwakilan, bandul kekuasaan itu kini berada di tangan perwakilan rakyat (DPR) yang ditentukan oleh partai politik untuk disodorkan kepada rakyat agar dipilih melalui mekanisme pemilu.

Dengan demikian dapat dikatakan, bandul kekuasaan itu kini digenggam oleh partai politik melalui perwakilannya di DPR. Maka di era Demokrasi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah rakyat, tapi partai politik! Maka partai politik melalui

DPR adalah lembaga yang paling berkuasa dan menentukan maju mundurnya Republik Indonesia . Saya akan meneruskan logika ini dengan mengajukan bukti betapa sangat berkuasanya partai politik melalui DPR.

DPR sebagai salah satu lembaga tinggi negara memiliki sejumlah peran dan fungsi penting menentukan arah dan kebijakan negara.

Pertama, hak budget. Melalui hak budget DPR berkuasa menentukan APBN. Hak budget merupakan kekuasaan amat penting dan strategis karena berwenang menentukan prioritas anggaran dalam hal besaran, sector dan daerah.

Kedua, fungsi legislasi. Melalui fungsi legislasi DPR berwenang membahas dan mengesahkan semua Undang Undang yang diusulkan pemerintah. Maka DPR berwenang menentukan arah perjalanan dan tata cara bernegara.

Ketiga, fungsi pengawasan. Dengan fungsi pengawasan yang merupakan amanat konstitusi, DPR bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Dengan hak angkat dan hak interpelasinya, dalam menjalankan fungsi pengawasannya DPR berhak penuh memanggil semua lembaga penyelenggara negara dan swasta. Semuanya wajib datang bila dipanggil.

Selain itu, DPR juga berhak memilih Dewan Gubernur Bank Indonesia, hakim agung, anggota dan Ketua Mahkamah Konstitusi, para ketua dan anggota komisi-komisi independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Pengawas Pemilihan Umum, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, para anggota Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha. DPR juga berwenang memberi penilaian dan persetujuan terhadap calon Panglima TNI dan Kepala Polri yang diusulkan presiden, serta melakukan uji kelayakan dan kepatutan para calon duta besar yang diajukan presiden.

Maka cukup tergambar betapa sangat berkuasanya DPR. Dengan kekuasaan yang demikian besar, tak berlebihan jika DPR disebut sebagai lembaga yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, siapa sebenarnya yang menguasai DPR?

Sebagai lembaga politik yang diisi oleh para politisi, tentu saja motif dan nuansa politik sangat kental dalam setiap pengambilan keputusan di DPR. Secara normatif, mekanisme pengambilan keputusan di DPR menempuh mekanisme musyawarah dan voting.

Tetapi dalam prakteknya, pengambilan keputusan di DPR adalah berdasarkan kesepakatan fraksi yang merupakan perwakilan partai politik di DPR. Kerap kali para anggota DPR tidak independen karena dibayang-bayangi hak recall yang dijatuhkan fraksi (partai politik) bila anggota DPR mbalelo.

Jadi, tak berlebihan jika dikatakan bahwa yang berkuasa di DPR sesungguhnya adalah partai politik karena partai politik melalui fraksinya adalah satu-satunya institusi yang mengarahkan setiap pengambilan keputusan di DPR. Maka tak berlebihan pula jika dikatakan bahwa, partai politik adalah institusi demokrasi yang menjadi tulang punggung yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Partai politik adalah hulu pengambilan keputusan di DPR.

Demikian juga ketika pemilu atau pilkada, partai politik pun tetap berkuasa, bukan rakyat. Anda boleh girang ketika Indonesia dipuji dunia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia karena menggelar pemilu dan pilkada langsung.

Tapi ingat, ketika berada di bilik suara untuk menggunakan hak pilih, rakyat hanya memilih para calon anggota DPR/DPRD, calon presiden dan wakil presiden serta kepala daerah yang disodorkan oleh partai politik. Ketika menggunakan hak pilihnya, rakyat tidak pernah tahu dan tak pernah diberi tahu bagaimana mekanisme, proses seleksi dan pertimbangan pengajuan seorang calon oleh partai politik karena wewenang penentuan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif dan pasangan calon kepada daerah sepenuhnya merupakan hak partai politik.

Maka jika proses demokrasi ibarat aliran sungai, maka partai politik adalah hulunya. Demikian gambaran partai politik sebagai institusi penting demokrasi. Tetapi parahnya, sebagai institusi penting demokrasi, realitas partai politik kita jauh dari sekadar mendekati ideal. Pada umumnya partai politik kita tidak demokratis; tercemar najis feodal, najis otoriter dan najis budaya politik uang.

Jika hulu sungai demokrasi kita terkena najis (mutanajis), mengalami pencemaran, maka di hilir pasti juga tercemar. Maka secara keseluruhan, proses demokratisasi yang oleh para ahli kerap disebut dimulai dengan pemilu atau pilkada pun tercemar najis.

Najis feodal, otoriter, politik uang dari hulu terus mengalir mencemari lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Pusat dan Daerah. Mungkin karena demokrasi kita adalah demokrasi mutanajis, maka berbagai pembaharuan sistemik yang saya sebutkan di awal tulisan tak kunjung melahirkan good governance. Wallahu a’lam