Wednesday, December 2, 2009

Ende Kota Pancasila

Buya A.A Aru Bone*


Ende. Mungkin tak banyak orang pernah mendengar nama ini,
apalagi mengunjunginya. Meski demikian, tak mengecilkan peran besar
kawasan kecil ini di masa lampau dalam mengilhami Bung Karno, Sang Proklamator memerdekakan Indonesia.

Kini, kawasan yang terletak persis di pesisir Laut Sawu, di antara apitan kaki Gunung Meja dan Gunung Wongge, adalah wilayah Ibukota Kabupaten Ende yang terletak di tengah bagian selatan Pulau Flores, yang oleh Bung Karno dalam banyak tulisannya dibanggakan dengan sebutan Pulau Bunga.

Dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kini kota kecil nan indah dan bersejarah itu dapat ditempuh melalui perjalanan udara dengan waktu tempuh sekitar 2 jam 30 menit, ditambah waktu transit 4 jam di Bandara Ngurarai, Denpasar, Bali.

Layanan penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandara Aru Busman, Ende, sementara ini hanya dilayani oleh Maskapai Merpati dengan jadwal penerbangan seminggu sekali tiap Kamis, dengan harga tiket pergi-pulang sekitar Rp3,5 juta hingga Rp4 juta per penumpang.

Tak hanya keindahan objek wisata alamnya seperti Danau Tiga Warna Kelimutu yang tersohor, pemandian airpanas Detusoko, kawasan Moni yang indah nan sejuk, alam bawah Laut Sawu yang memukau.

Lebih dari itu, pariwisata Kota Ende juga mengandalkan sejarahnya. Karena kota kecil inilah yang mengilhami Pahlawan Besar Bung Karno merumuskan Pancasila. Di Kota ini pula Bung Karno merumuskan konsep bernegara. Di kota inilah, Bung Karno mendapatkan ketenangan untuk berpikir mendalam, merenung guna menggali pikiran-pikiran cemerlangnya sebagai seorang intelektual.

Bagi anda yang pernah mengunjungi Ende, pasti sepakat dengan saya, bahwa keindahan dan kesunyian Ende di masa lalu, bersumbangsih mengilhami Soekarno menemukan pikiran-pikiran hebatnya tentang Indonesia.


* * *

Setelah keluar dari Penjara Sukamiskin di Bandung pada 31 Desember 1931, Bung Karno ditangkap untuk kedua kalinya pada 1 Agustus 1933. Saat ditangkap, Bung Karno tidak diadili tapi langsung diasingkan di Ende.

Dengan menumpang kapal laut,bersama istri Ibu Inggit Garnasih, ibu mertuanya Ibu Amsih dan putri angkat Ratna Djuami, Bung Karno diasingkan ke Ende oleh Belanda. Soekarno menjalani masa pengasingan di Ende selama empat tahun; 1934-1938.

Selama di Ende, beliau dan keluarga menempati sebuah rumah seluas 12 m
X 9 m, pemberian Raja Ende saat itu, almarhum Raja Aru Busman. Rumah bersejarah yang kini terletak di Jalan Perwira itu ditetapkan sebagai situs bersejarah dengan papan nama bertulis, "Situs Bekas Rumah Bung Karno di Ende."

Selain tumpukan ratusan judul buku milik Bung Karno yang disusun rapi di rak, di rumah itu tersimpan beberapa peninggalan Bung Karno, diantaranya, kamar tidur lengkap dengan ranjang besi, ruang semedi khusus tempat berjam jam Bung Karno sholat malam, kursi dan meja kayu kesukaan Bung Karno, delapan naskah toneel (naskah pementasan sandiwara yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia).

Delapan naskah sandiwara yang ditulis Bung Karno selama pengasingannya di Ende berjudul; Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, Kut Kut Bi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit dan Dr. Setan, serta belasan surat korespondensi Bung Karno dengan sejumlah tokoh di Jawa. Terkoleksi juga sepeda ontel yang biasa dikendarai Bung Karno, meja marmer, dua tongkat jalan, foto-foto Bung Karno selama di Ende dan sebuah lukisan karya Bung Karno tentang ritual keagamaan masyarakat Bali.

Selain rumah, di Ende juga terdapat beberapa tempat lain yang kini dijadikan monumen bersejarah oleh Pemerintah Kabupaten Ende. Diantaranya, lokasi pohon sukun bercabang lima, tempat kesukaan Bung Karno duduk menghabiskan sore, yang mengilhaminya merumuskan Pancasila (Ilham dari Flores Untuk Nusantara, 2006 ). Tempat yang terletak di tepi pantai Laut Sawu itu, kini berada persis di salah satu sisi lapangan sepakbola Perse Ende. Lokasi itu juga sering dikunjungi sejumlah pejabat tinggi dari Jakarta yang mampir ke Ende.

Juga terdapat Gedung Imasulata, tempat Bung Karno bersama para sahabatnya di Ende mementaskan sandiwara yang tertulis dalam delapan naskah Toneel karya Bung Karno. Juga Kali Nangaba, tempat Bung Karno biasa mandi bersama teman-temannya di Ende.

* * *

Rutinitas dan pikiran-pikiran Bung Karno sebagai intelektual selama menjalani 4 empat tahun pengasingan di Ende sebenarnya cukup tergambar, diantaranya, dari surat-surat panjang korespondensi yang ditulis Bung Karno kepada T.A. Hassan, Guru Persatuan Islam Bandung (Surat-Surat Islam dari Ende, Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 325-344 , edisi revisi, cetakan kelima, Juni 2005 ).

Diantaranya, dalam suratnya Bung Karno menulis bahwa rutinitas hariannya di Ende, lebih banyak diisi dengan membaca berbagai buku sosial dan keislaman berbahasa Inggris, Indonesia atau bahasa Eropa lainnya (Bung Karno menguasai 7 bahasa asing, kecuali Arab), yang merupakan kiriman teman-temannya di Jawa dan mbakyunya di Eropa.

"Kabar dari Ende, sehat wal afiat, alhamdulillah. Saya masih terus studi Islam, tapi sayang kurang perpustakaan, semua buku-buku yang ada pada saya sudah habis 'termakan.' Maklum, pekerjaan saya sehari-hari sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan disamping ngobrol dengan anak bini buat menggembirakan hati mereka adalah membaca saja. Berganti membaca buku-buku mengenai ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku mengenai Islam. Yang belakangan ini dari tangan orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmupengetahuan yang bukan Islam..." (Bung Karno)

Mencermati surat-suratnya, tanpa ragu saya berani bertaruh bahwa Bung Karno adalah seorang muslim taat yang sangat peduli pada Islam dan juga salah seorang pelopor pemikir keislaman yang sangat faseh mengulas gagasan keislamannya.

Di surat-surat itu tergambar jelas pandangan Bung Karno tentang pentingnya ijtihad, penolakannya atas taklid dan urgensi pembaharuan fiqih. Dia sangat faseh mengulas hubungan tauhid dan kemanusiaan, demikian juga hubungan Islam dengan negara, hubungan Islam dengan kemodernan. Bung Karno juga mengkritik keras para pengeluk-eluk khilafah islamiyah yang disebutnya kaum yang mengikat Islam pada zaman kuno yang tak berani maju menyongsong zaman.

Selain itu, Bung Karno juga menawarkan pembaharuan kurikulum pesantren.

"Kalau saya boleh memajukan sedikit usul: hendaklah ditambah banyaknya 'pengetahuan Barat' yang hendak dikasih kepada murid-murid pesantren itu. Umumnya adalah sangat saya sesalkan bahwa kita punya Islam scholar masih sangat sekali kurang pengetahuan modern science. Walau yang sudah bertitel 'mujtahid' dan 'ualama' sekalipun, banyak sekali yang mengecewakan pengetahuannya modern science...alangkah baiknya kalau Tuan punya mubaligh-mubaligh nanti bermutu tinggi, seperti Tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang sedalam dalamnya bahwa Islam disini -ya di seluruh dunia- tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang Islam hanya mempunyai 'sikap hidup' secara kuno sahaja, yang menolak tiap-tiap kebaratan dan kemodernan. Al Qur'an dan hadist adalah kita punya wet yang tinggi, tapi Qur'an dan hadist itu barulah bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca Qur'an dan hadist dengan berdasarkan pengetahuan umum. Ya, justeru Quran dan hadistlah yang mewajibkan kita menjadi cakrawarti di lapangannya segala science dan progress, di lapangan segala pengetahuan dan kemajuan. Kekolotan dan kemesuman itulah yang menyebabkan seluruh negara Barat memandang Islam sebagai agama yang anti kemajuan dan sesat..." (Bung Karno)

Gagasan-gagasan Bung Karno yang tergurat dalam surat-suratnya yang lain, bukan saja terdepan dan melampaui zamannya, lebih dari itu menggambarkan konsep negara seperti apa yang ia pikirkan bagi Indonesia saat itu.

"Islam adalah kemajuan, progress. Di dalam politik Islam pun, orang tidak boleh meng-copy barang yang sudah lama, tidak boleh mengulangi zamannya 'khilafah-khilafah' yang besar itu. Tidakkah di dalam langkah zaman yang lebih dari seribu tahun itu perikemanusiaan mendapatkan sistem-sistem baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu. Sistem demokrasi... (Bung Karno)

Dalam beberapa surat lain, Bung Karno juga menceritakan, selama di Ende ia sedang menyelesaikan menulis buku (tak disebutkan buku tentang apa) dan beberapa artikel permintaan beberapa sahabat pergerakannya di Jawa untuk diterbitkan dalam brosur-brosur propaganda.

Selain bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya di Ende yang dalam pengakuan Bung Karno ia katakan, lebih banyak mendengar dan menyimak perdebatan mereka. Bung Karno juga bertukar pikiran dengan kaum pastor di Ende. Dalam beberapa bagian suratnya kepada Hassan, Bung Karno menyampaikan respectnya terhadap kaum pastor yang menyebarkan Katolik secara sistematik dan penuh dedikasi. Ia juga mempertanyakan mengapa ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Persis tidak mendakwakan Islam di Flores dan daerah-daerah minoritas muslim lainnya.

Selain tempatnya memperdalam keislaman melalui buku-buku yang ia 'makam', Keheningan dan keindahan Ende lah yang menginspirasi Bung Karno merumuskan Pancasila. Di bawah pohon sukun raksasa bercabang lima yang menghadap ke Laut Sawu, Bung Karno menggoreskan penanya merumuskan Pancasila.

Pengakuan ini bukan saja disampaikan oleh putra putri Bung Karno, tapi juga berdasarkan pengakuan Bung Karno seperti yang ditulis Cidy Adams.

"Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan berjam jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan aku menciptakan Pancasila. Apa yang ku kerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya, dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah" (Sukarno: An Autobiography, Cidy Adams, 1965 hal. 300 ).

Butir butir Pancasila yang kini menjadi landasan falsafah negara itu rumusannya diformulasikan dan disampaikan pada rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945 , yang kemudian setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Walaupun rumusan butir butir Pancasila tidak sama persis dengan yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tapi butir-butir dari lima sila itu telah ditemukan jauh sebelum kemerdekaan. Fakta sejarah ini tak terbantahkan karena Bung Karno yang mengatakannya sendiri.

Ahli sejarah Universitas Indonesia, Yuke Ardhianti dalam kunjungannya ke Ende mengatakan, peringatan 75 tahun Bung Karno harus dijadikan titik tolak bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Ende untuk memperkenalkan sejarah dan keunikan Kota Ende agar lebih dikenal luas mayarakat.

"Bukan hanya Danau Kelimutu atau mungkin Situs Bung Karno, tapi benar benar Ende ini Kota Pancasila, lahirnya mutiara nilai nilai Pancasila lewat perenungan Bung Karno di Kota Ende hingga tercetus kemerdekaan negeri ini," kata Yuke di depan Situs Bung Karno di Ende (Kompas, 6 Agustus 2009 ).

*Sekadar coretan iseng mengisi kesendirian di malam minggu :)

No comments: