Saturday, May 16, 2009

Narsisme Plus Para Capres

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=141&page=1
GAZEBO
Minggu, 17 Mei 2009, 00:10:04 WIB

Oleh: Buya AA Aru Bone*


Setelah beberapa pekan publik dibuat penasaran oleh lobi-lobi partai yang dilakukan tertutup, kini jelas sudah pasangan capres/cawapres yang akan berkompetisi pada Pilpres 2009.

Tiga pasang capres/cawapres yang telah mendeklarasikan diri lalu mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum adalah: Jusuf Kalla-Wiranto (JK WIN), Megawati-Prabowo (Mega Pro) dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY Berbudi).

Selanjutnya, satu dua bulan ke depan publik dan media massa akan disuguhi tontonan perang pencitraan dan saling kritik yang substansinya tak jauh dari narsisme politik yang tak banyak memberikan pendidikan politik bagi publik.

Narsis sebenarnya bahasa gaul anak muda. Dalam bahasa gaul, narsis kira-kira berarti, kebiasaan untuk menunjukkan diri secara berlebihan. Nah, kalau narsis menjadi cara pandang yang ditempuh untuk mencapai kemenangan dalam gelandang politik, maka bisa disebut narsisme politik.

Perang pencitraan yang bersubstansi narsisme politik itu sesungguhnya menjangkiti para pasangan capres/cawapres yang bertarung pada Pilpres 2009. Bahkan, yang mereka idap sebenarnya lebih parah dari sekadar narsisme politik, karena ada aspek menyerang pasangan calon capres/cawapres lain. Karena itu, saya menyebutnya narsisme plus.

Salah satu indikatornya, tampak pada jargon yang diusung masing-masing pasangan capres/cawapres. Selain narsis, dari jargon yang mereka usung, tampak jelas pesan untuk menyerang pasangan yang menjadi lawan paling tangguh.

Mari kita buktikan. Pasangan capres/cawapres Golkar dan Partai Hanura yang mengusung JK WIN mempopulerkan jargon “Lebih cepat, lebih baik.” Jargon ini merupakan upaya untuk menonjolkan diri JK bahwa ia adalah capres yang paling cepat mengambil tindakan dan paling lihai membaca peluang. Selain itu, jelas merupakan serangan terhadap gaya kepemimpinan capres SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden saat ini yang dikenal lamban, peragu dan hati-hati dalam mengambil keputusan.

Demikian juga dengan jargon yang diusung capres/cawapres PDIP dan Gerindra; Megawati-Prabowo. Pasangan ini mengusung jargon Mega Pro Rakyat. Pasangan ini menggadang-gadangkan ekonomi kerakyatan untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Selain bersikap narsis dengan memuji diri sendiri secara berlebihan sebagai pemerhati wong cilik, jargon yang diusung jelas menyerang SBY yang menggandeng Boediono sebagai cawapres dan dikenal pro ekonomi neoliberal yang dikesankan anti ekonomi kerakyatan.

Konon katanya, jargon-jargon seperti itu merupakan bagian dari strategi menjual calon yang diusung. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah jargon yang bersubstansi narsis dan menyerang tersebut memang benar-benar efektif untuk memperkenalkan pasangan capres/cawapres? Apakah jargon seperti itu efektif untuk membantu pemilih menentukan pilihannya dalam Pilpres nanti?

Konon, jargon seperti itu diadopsi dari strategi pemasaran dalam ilmu komunikasi. Sah-sah saja mengadopsi metode seperti itu untuk diterapkan dalam ranah politik menjual calon presiden/calon wapres.

Tapi yang perlu diingat, cara menjual calon presiden/cawapres tentu tidak sama dengan cara menjual barang. Karena itu stategi tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di ranah politik.

Jargon narsis plus tersebut, menurut saya hanya akan memberikan efek adanya attention (perhatian) dari pemilih. Padahal dalam teori komunikasi seperti yang disebut Wilbur Schram yang disebut AIDDA (Attention, Interest,Desire, Decission, Action), perhatian menduduki posisi awal dalam sebuah proses komunikasi massa.

Artinya, slogan yang cenderung narsis plus itu hanya untuk sekedar memperkenalkan pasangan calon, bisa dikatakan efektif. Tapi dalam politik ‘kan tidak cukup dikenal, para capres/cawapres itu tentu maunya setelah dikenal, ada keinginan dan keputusan dari rakyat untuk memilih mereka dalam pemungutan suara Pilpres.

Nah untuk bisa mempengaruhi keinginan dan keputusan pemilih memilih mereka, tentu mereka harus melakukan komunikasi dua arah yang memungkinkan adanya feed back dari publik atas visi misi yang meraka tawarkan. Komunikasi dua arah penting untuk mengetahui respon publik pada tahap menarik perhatian untuk memilih.


Tentu saja perlu memaksimalkan mesin partai dan ormas agar komunikasi dua arah mampu menjangkau pemilih yang demikian luas. Karenanya, pasangan capres/cawapres JK WIN dan Mega Pro yang mengusung jargon narsisme plus yang muaranya adalah memberikan deferensiasi politik dari pasangan SBY Berbudi yang dinilai sebagai pasangan tertangguh, hanya akan berakhir kegagalan jika Golkar-Hanura atau PDIP-Gerindra beserta partai-partai pendukungnya gagal memaksimalkan peran mesin partai dan absen menjalin komunikasi dua arah dengan rakyat pemilih.

Selain itu, upaya tersebut harus diiringi dengan stategi pencitraan yang tidak narsis dan menyerang pasangan calon lain yang dinilai paling tangguh.

Melainkan, melalui strategi pencitraan yang mampu memberikan pendidikan politik bagi masyarakat pemilih. Strategi pencitraan yang tidak kelewat percaya diri (over-confidence) atau hanya menunjukan arogansi kosong berlebihan, agar Pemilu yang sejatinya juga merupakan proses pembelajaran berdemokrasi juga mampu memberikan pembelajaran politik dan demokrasi bagi rakyat pemilih. Wallahu A’lam

No comments: