Sunday, February 15, 2009

Kontraversi Moralitas Pejabat Publik

Rakyat Merdeka online
Sabtu, 14 Februari 2009, 14:37:59 WIB
GAZEBO

Catatan Buya A.A. Aru Bone*


Tentu anda ingat sejumlah pemberitaan kurang beruntung tentang
kehidupan pribadi beberapa anggota DPR dan DPRD yang berselingkuh
dengan wanita lain, memalsukan pernikahan, poligami, mengkonsumsi
narkoba dan lain-lain.

Karena gencarnya pemberitaan media massa tentang kehidupan pribadi
mereka yang mengundang sorotan publik, beberapa dari mereka kehilangan
jabatan, ada yang dipenjara, sebagian lainnya sedang diselidiki apakah
layak diberi sanksi atau tidak.

Media massa memang sangat menyukai pemberitaan tentang pejabat publik
dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Sebab, hampir bisa
dipastikan, kemana pun anda pergi, pemberitaan media massa akan
menempatkan kisah tak beruntung sang pejabat publik sebagai berita
yang sering muncul sebagai headline.

Secara umum ada dua persepsi publik ketika membaca berita seperti itu.
Pertama, pada umumnya berita-berita seperti itu dipersepsikan sebagai,
diantara bukti yang mencerminkan menurunnya standar moral.

Tentu saja sebagian tidak setuju dengan persepsi tersebut. Kelompok
kedua ini mempersepsikan, sering munculnya berita-berita seperti itu
bukanlah pertanda kita kurang bermoral.

Kalangan kedua biasanya menilai, apapun yang dilakukan seorang pejabat
publik dengan kehidupan pribadinya tidak masalah selama tidak
merugikan yang lain. Karenanya, bagi yang menganut persepsi kedua ini,
masalah moral yang sesungguhnya bukanlah skandal seksual, poligami,
konsumsi narkoba dan alkohol, melainkan kemiskinan, kebodohan, korupsi
dan seterusnya.

Perbedaan dua persepsi ini sebenarnya terletak pada apa yang menjadi
fokus moralitas. Apa yang pantas menjadi fokus moralitas pada tindakan
(mantan) Wakil Ketua DPR, Zaenal Maarif yang memutuskan poligami tanpa
izin istri pertama?

Apa yang layak menjadi fokus moralitas pada tindakan Ketua Komisi V
DPR, Ahmad Muqowam yang menelantarkan istri dan memalsukan pernikahan
agar dapat menikahi wanita lain? Apa yang pantas menjadi fokus
moralitas dalam tindakan anggota Fraksi PKS DPRD Jambi, Zulhamli Al
Hamidi menikmati layanan pijat di panti pijat?

Penganut persepsi pertama tentu menjawab, setidaknya para tokoh publik
itu telah mengkhianati dan mentelantarkan istri, keluarga dan
menyakiti perasaan orang-orang terdekat mereka. Karena itu, mereka
layak mendapat sanksi administratif, bahkan hukum.

Tapi penganut persepsi kedua bisa juga mengatakan, tindakan semacam
itu lebih merupakan titik kulminasi naik turunnya kehidupan, ketimbang
sebagai pembahasan utama tentang moral.

Karena itu, sanksi atas tindakan seperti itu layaknya hanya melibatkan
(diberikan) oleh pihak-pihak yang terlibat secara langsung dengan si
pejabat sebagai individu dalam kehidupan pribadinya. Atau menyerahkan
pertanggungjawabann ya kepada Tuhan, tanpa mengaitkannya dengan
kehidupan publik pelaku sebagai pejabat publik.

Maka letak perbedaan persepsi antara dua kubu adalah; antara mereka
yang meletakan penilaian fokus moral pada tindakan kehidupan pribadi
versus mereka meletakan penilaian fokus moral pada tindakan publik,
dimana tindakan si pejabat berpengaruh pada sejumlah pihak lain.

Tentu saja, tidak ada yang menilai bahwa moralitas sepenuhnya terkait
dengan tindakan pribadi semata atau tindakan publik semata. Tapi
bagaimanapun, perbedaan dalam fokus penekanan tetap penting.

Yang jelas, ada dua poin penting yang perlu digaris bawahi dari dua
persepsi kontroversial tersebut; menurut persepsi pertama, si pejabat
publik telah cacat moral dalam kehidupan pribadinya dan cacat itu
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan publiknya.

Konsekuensinya, pertanggungjawabann ya bukan hanya pertanggungjawaban
dalam kapasitas pribadi, tetapi juga berkorelari dengan kehidupan
publiknya.

Tetapi menurut persepsi kedua, tindakan tersebut meski belum tentu
merupakan cacat moral, tetapi merupakan kesalahan. Namun
pertanggungjawaban atas kesalahan dalam kehidupan pribadi tidak serta
merta berkorelasi dengan kehidupan publiknya, cukuplah sanksinya
persifat personal yang terkait dengan kehidupan pribadinya yang ia
dapatkan dari dirinya sendiri, Tuhan atau orang-orang dalam kehidupan
pribadinya.

Layakkah Dipecat?

Pertanyaan ini tetap harus diajukan meski sikap masing-masing persepsi
telah kita dapatkan. Pertanyaan ini bisa juga diganti dengan dua
bentuk pertanyaan berbeda tetapi tetap dengan substansi yang sama,
yaitu, apakah publik berhak memiliki pejabat publik yang memiliki
kehidupan pribadi dan kehidupan publik yang baik?

Jika anda penganut persepsi pertama, pasti jawabannya, publik berhak
mendapatkan pejabat publik yang memiliki kehidupan pribadi dan
kehidupan publik yang baik. Maka, di negara demokrasi publik bukan
saja berhak tahu kehidupan personal pejabat publiknya, tapi juga
berhak menuntut pejabat tersebut dipecat dari jabatannya plus sanksi
personal dari keluarga jika keluarganya memberi sanksi.

Tapi jika anda penganut prinsip kedua, mungkin akan menjawab, di
negara demokrasi publik berhak tahu informasi apapun yang ingin ia
ketahui, termasuk kehidupan pribadi pejabat publiknya. Tetapi publik
tidak berhak menuntut mereka diberhentikan dari jabatannya.

Alasannya, di sebuah negara berdemokrasi semua orang berhak tahu semua
informasi yang ingin diketahui, termasuk kehidupan pribadi orang lain
(apalagi pejabat publik) tanpa harus ikut campur dalam kehidupan
pribadi (privacy) yang telah berhasil diketahuinya. Wallahu a'lam

* Penulis adalah pekerja media, alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1 comment:

Anonymous said...

Partai2 lain pada poligami sebenarnya gk masalah buat masyarakat, kesalahannya adalah ketika PKS yang notabene partai penjual agama Islam dan moral akidah, malah berpoligami.

Ini yang disoroti masyarakat, Islam tidak mengajarkan berpoligami walapun Rasul berpoligami pada jamannya. Kalau ada Islam yang menghalalkan poligami, berarti dia Islam pemuja "alat kelamin"