Wednesday, February 13, 2008

Valentine’s Day dan Islam


Oleh: Buya Abdul Aziz Aru Bone

Diterbitkan oleh www.myrmnews.com, edisi 14 Februari 2008

Perayaan Valentine’s Day yang jatuh pada setiap 14 Februari menjadi tradisi banyak orang di berbagai belahan dunia untuk merayakan perwujudan cinta erotis (meminjam istilah Eric Fromm dalam the Art of Loving) bersama orang-orang yang dicintai. Tradisi ini pun jamak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia

Sebagai momentum merayakan cinta erotis, maka Valentine’s Day bukan hanya dirayakan oleh sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun juga perayaan cinta kasih terhadap sesama, pasangan suami istri, orangtua anak, kakak terhadap adik dan seterusnya.

Meski Valentine’s Day telah menjadi tradisi mendunia, tetapi beberapa kelompok keislaman di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim melarang perayaan Valentine’s Day.

Reuters memberitakan, polisi syariah Arab Saudi melarang peredaran mawar merah di Valentine’s Day (Kompas.com, Selasa, 12 Februari 2008). Bahkan siang ini (Rabu, 13 Februari 2008, sekitar pukul 11.00 WIB), program infotainment SILET di stasiun televisi RCTI juga menayangkan pernyataan Ketua MUI Umar Shihab yang mengharamkan perayaan Valentine’s Day.

Dalam pelarangan tersebut, Umar Shihab menggunakan argumen yang kerap diulang-ulang. Pertama, Islam melarang jalinan cinta erotis antara dua insan berlainan jenis kelamin di luar ikatan pernikahan (Umar Shihab menyebutnya pacaran). Kedua, perayaan Valentine’s Day bukahlah tradisi Islam, melainkan Katolik Roma (baca: Kristen). Karena itu, adalah sebuah kesesatan jika kaum muslimin merayakan tradisi Valentine’s Day, karena merayakannya berarti membenarkan ajaran Kristen.

***

Menurut saya, adalah sama sekali tidak berdasar jika dikatakan, Islam melarang umatnya berpacaran, jika term pacaran didefinisikan sebagai, sebuah komitmen cinta erotis dua anak manusia berlainan jenis kelamin sebagai fase saling mengenal dengan niat melembagakan hubungan cinta dalam mahligai pernikahan.

Karena jika yang dilarang oleh agama adalah perbuatan asusila (baca: kemaksiatan), maka sama sekali tidak berdasar jika dijadikan pertimbangan untuk melarang berpacaran, lantaran berpacaran tidak identik dengan berbuat maksiat.

Lebih dari itu, pengharaman terhadap jalinan cinta erotis justeru bertentangan dengan kemanusiaan dan tujuan Allah menciptakan cinta erotis pada perasaan tiap kita seperti yang Allah memproklamerkan dalam Al Qur’an –saya terjemahkan-:

“Dan dari tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia menciptakan kamu berpasangan dari jenis mu sendiri. Agar kamu merasa tenteram dengan pasangan mu. Dan Dia menjadikan antara kalian rasa kasih dan sayang (cinta). Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum ayat 21).

Tidak itu saja, Islam juga secara aktif mengabadikan kisah cinta erotis para tokohnya dalam tradisi maupun kitab suci. Dalam tradisi Islam, kita dikenalkan dengan kisah tragedi cinta erotis putera-puteri Nabi Adam dan Siti Hawa, yakni, kisah konflik asmara antara Habil dan Qobil yang bersaing memperebutkan cinta saudari perempuan mereka.

Al-Qur’an juga mengabadikan kisah cinta erotis Zulekha terhadap Nabi Yusuf. Dalam untaian kehidupan Rasulullah Muhammad pun, para ulama dalam rentang sejarah Islam tak pernah alpa menyebutkan besarnya rasa cinta erotis Siti Khadijah Al-Kubra terhadap Nabi Muhammad. Bahkan kepergian Khadijah yang mulia ke haribaan Ilahi mendapat sebutan khusus dalam sejarah Islam sebagai ’Aamul Khuzni, tahun duka cita.

Para sejarawan muslim juga mengabadikan kisah cinta erotis para putri Nabi. Diantara yang paling banyak dirujuk adalah kisah cinta erotis Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali Ibn Abi Tholib.

Saya kira, peran aktif Islam (demikian juga agama-agama besar lain) dalam mengabadikan kisah cinta erotis para tokohnya, selain untuk menegaskan agama tersebut sebagai agama cinta dan kasih saying dan tidak melarang umatnya menjalin cinta, juga karena kisah cinta erotis para tokoh agama tersebut memberikan daya dorong dan kontribusi besar dalam pengembangan agama.

Karenanya, sekali lagi, adalah sama sekali tidak berdasar jika MUI mengharamkan jalinan cinta erotis (pacaran), asalkan sepanjang tidak melakukan tindakan-tindakan kemaksiatan. Bahkan, jikapun terjadi tindakan kemaksiatan, maka yang diharamkan adalah kemaksiatannya, bukan komitmen cinta erotis yang dijalin dua insan.

***
Selanjutnya, apakah merayakan Valentine’s Day berarti membenarkan ajaran Kristen? Pun apakah umat Islam boleh mengadopsi dan mengadaptasi tradisi Valentine’s Day untuk merayakan cinta erotisnya?

Tentu saja perayaan Valentine’s Day bukan berarti membenarkan ajaran Kristen karena Valentine’s Day tidak ada sangkut pautnya dengan Kristen sebagai agama. Valentine’s Day yang konon ditetapkan oleh Paus Gelasius pada 14 Febuari tahun 496 M, awalnya adalah sebagai perayaan untuk memperingati perjuangan Santo Valentine dan para muda mudi yang hidup pada masanya.

Ada banyak versi awal mula kisah ini. Diantaranya, seperti yang saya telusuri melalui mesin pencari google.com, 200 tahun sebelum masa Paus Gelasius, Santo Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang Pemerintahan Kaisar Claudius II yang melarang pemuda menikah untuk menjaga performa perang pasukannya.

Karena tidak setuju, diam-diam Valentine tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Lambat laun, aksi Valentine tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati.

Selama mendekam di balik jeruji besi menunggu hadirnya hari eksekusi, Valentine jatuh hati pada anak gadis seorang sipir penjara. Gadis yang dikasihinya itu senantiasa setia menjenguk Valentine di penjara. Tragisnya, sebelum ajal tiba, Valentine menorehkan sebuah surat untuk sang gadis. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini, yang dalam Bahasa Inggris kerap ditulis menjadi ‘From Your Valentine.’

Dengan demikian, maka perayaan Valentine’s Day pada awalnya adalah perayaan perjuangan hak-hak kemanusiaan, seperti, hak mencintai, hak dicintai, hak menikah atau hak berkeluarga, hak memiliki keturunan, serta tidak ada kaitannya dengan aqidah Kristen sebagai agama. Karena itu, sama sekali tidak berdasar jika umat Islam diharamkan merayakannya.

Apalagi, dalam perjalanan waktu berabad-abad hingga kini dan melalui proses adopsi dan adaptasi tradisi, tradisi Valentine’s Day bukan lagi hanya milik masyarakat Romawi kuno atau Kristen semata, tetapi telah menjadi milik masyarakat dunia.

Saya rasa, adalah merupakan hal baik jika umat Islam juga turut mengadopsi dan mengadaptasi tradisi Valentine’s Day untuk merayakan cinta kasihnya terhadap kekasih, suami istri, orangtua, anak, kakak terhadap adik dan seterusnya.

Selain untuk meneguhkan Islam sebagai agama cinta dan kasih sayang, langkah adopsi dan adaptasi tradisi Valentine’s Day, semakin menemukan relevansinya di tengah hubungan antar umat beragama yang kerap tegang dan bertikai di Indonesia maupun di dunia internasional. Langkah ini guna menghadirkan Islam sebagai agama dan tradisi terbuka yang siap disandingkan serta didialogkan dengan tradisi-tradisi besar lain sebagai artikulasi Islam agama rahmatan lil alamin.

Bukankah adopsi dan adaptasi tradisi dari luar Islam oleh generasi Islam klasik dahulu telah terbukti mampu mengantarkan peradaban Islam klasik sedemikian maju dan gemilang, hingga pernah menjadi adi kuasa dunia sebelum masa Eropa modern.

Berbagai perkembangan displin keilmuan Islam klasik, seperti, Ushul Fiqh, Tawasuf, Ilm Kalam, cabang ilmu-ilmu Hadist, ‘Ilm Tibb, ‘Ilm Falak, Fiqh, Fiqh Siyasah, ‘Ilm Mantiq dan lain-lain, hanya dapat terjadi setelah generasi Islam klasik yang memiliki percaya diri dan kreatifitas tinggi menyerap, mengadopsi dan mendaptasi tradisi Filsafat Helenisme.

Jika generasi muslim pendahulu kita memiliki kepercayaan diri tinggi yang disertai keativitas untuk menempatkan Islam sebagai tradisi terbuka yang siap didialogkan dan disandingkan dengan tradisi di luar Islam, mengapa generasi muslim pasca kolonial bersikap sebaliknya?

Saya rasa, sikap menempatkan Islam sebagai tradisi tertutup, seperti, yang ditunjukan MUI dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, hanyalah lahir pasca era kolonial Eropa (Kristen). Era panjang kolonial Eropa (Kristen) di negara-negara mayoritas muslim telah melahirkan sindrom pasca kolonial yang menempatkan Barat (Kristen) sebagai musuh dan ancaman bagi tradisi Islam.

Dalam konteks Valentine’s Day, sindrom tersebut menempatkan perayaan itu sebagai bentuk dominasi dan invasi kultural Barat (Kristen) yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Selain terhadap tradisi Valentine’s Day, sikap serupa juga dialamatkan terhadap tradisi-tradisi Barat yang lain, seperti, demokrasi, nation-state, komunisme, sekularisme, liberalisme. Sikap inferioritas seperti ini selayaknya dibuang ke tong sampah sejarah, selain karena tidak relevan dengan kebutuhan pergaulan dunia kini, juga akan semakin menjerembabkan umat Islam dalam lumpur sejarah. Wallahu a’lam bi as-showab


Catatan:
penulis tidak merayakan Valentine’s Day karena tidak terbiasa. Kekasih dan keluarga penulis juga tidak merayakannya, pun karena tidak terbiasa.