Tuesday, April 3, 2007

Beberapa Catatan Kritis Atas Kaedah Ushul Fiqh

Oleh, Buya A. A. Arubone

Al-Qur’an, dalam sejarah pemikiran hukum Islam selalu dipandang sebagai kitab suci yang memuat ketentuan-ketentuan perundangan. Sudut pandang semacam ini pada gilirannya telah melahirkan pemisahan mekanis antara ayat-ayat ahkam dan ayat-ayat yang tidak berisi ketentuan hukum. Ayat-ayat hukum tersebut selalu dipahami secara otomistis dan harfiah dengan ditopang oleh hadist dan ijma’, yang pandang sebagai sumber syariah kedua dan ketiga setelah Al-Qur’an.

Ilustrasi berikut memperlihatkan karakteristik penafsiran harfiah dan otomistis tersebut. Di dalam Al-Qur’an (II:282); disebutkan bahwa dalam transaksi utang piutang, jumlahnya harus dituliskan dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki, atau jika tidak ada, maka seorang lelaki dan dua orang wanita. Ayat ini oleh para ulama fiqh dijadikan dasar hukum persaksian dan diterapkan secara ketat. Namun dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Dawud, disebutkan bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara dengan seorang saksi yang disumpah(1).

Karena ketatnya para ulama fiqh berpegang pada makna tekstual ayat di atas, maka tindakan Nabi tersebut diartikan sebagai telah memenuhi ketentuan Al-Qur’an mengenai dua orang saksi. Lantaran sumpah saksi tersebut dipandang sebagai pengganti seorang saksi. Demikian pula penggantian seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita, dipegang secara harfiah oleh para ulama fiqh tanpa melihat alas an Al-Qur’an, yaitu, "Jika salah satu diantara keduanya lupa, maka yang lain akan mengingatkannya…." (Al-Qur’an: II:182). Jadi dalam kasus pergantian saksi ini, tampak bahwa dua wanita sebanding nilainya dengan sumpah seorang saksi laki-laki.

Ilustrasi di atas memperlihatkan, betapa terikatnya para fiqh terhadap zhohir nash (baca: makna redaksional) tanpa mau menengok gagasan-gagasan lain dalam Al-Qur’an, seperti keadilan gender, persamaan manusia, yang merupakan doktrin sentral dalam Kitab Suci. Juga tampak bahwa pemaknaan ayat tersebut telah dikeluarkan dari konteks kesejarahannya. Memang dalam penafsiran di atas, telah dikemukakan asbaab al-nuzul (sebab-sebab turunnya)-ayat tersebut, namun hal ini tidak terinteraksi atau dikaitkan dengan penafsiran mereka(2).

Contoh kasus pemahaman harfiah dan parsial pada ayat tersebut (demikian juga dengan penafsiran para ulama fiqh pada puluhan ayat lain, terutama yang terkait hubungan sosial dan individual pria dengan wanita) mendapat sokongan dari kaedah-kaedah ushul al-fiqh yang pada hakekatnya dirumuskan dari nash-nash yang terisolasi dan merupakan pemaksaan pra-konsepsi ke dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dibiarkan. Dengan demikian tidaklah mengherankan, penafsiran-penafsiran dan produk-produk hukum yang menggunakan kaedah tersebut bersifat parsial dan tidak mampu menyampaikan pesan Al-Qur’an secara utuh.

Dua ilustrasi berikut memaparkan proses perumusan kaedah-kaedah ushul fiqh tersebut:

Kaedah; "Al-‘umuruu bi maqashidiha (setiap sesuatu -dinilai dari- maksudnya)", dirumuskan dari firman Allah, "Wa maa ‘umiruu illa li ya’budullaha mukhlishina lahu ad-din. (Qs. Al-Bayyinah:5), dan ayat "Fa’budillah mukhlisan lahuu ad-din." (Qs. Az-Zumar:2), serta hadist Nabi, "Inna ma al-a’maalu bi an-niyat." (Mutafaqqun alaih) (3).

Kedua ayat yang dijadikan landasan tersebut, telah dikeluarkan dari konteksnya, yang sebenarnya mengacu pada agama monoteis yang diwahyukan pada Muhammad dan didakwakan oleh Al-Qur’an. Istilah ‘ibadah yang digandengkan dengan ikhlash dan din, mengacu pada agama tauhid dan hanif dalam Al-Qur’an. Sebab pemakaian kata ikhlash dan turunannya di dalam Al-Qur’an selalu mengacu pada mengesakan Allah (4).

Berpijak dari makna yang diperoleh dari konteks bahasa ini, kiranya sukar dimengerti, bagaimana kedua ayat di atas (Al-Bayyinah:5 dan Az-Zumar:2) dapat dijadikan basis untuk merumuskan kaedah, "Al-‘umuruu bi maqashidiha," terlebih lagi jika dihubungkan dengan istilah niyyat yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Umar di atas.

Kaedah lain yang memperlihatkan kesewenangan para fuqoha dalam menafsikan ayat Al-Qur’an, adalah "Al-‘Adah muhakkamah (kebiasaan atau tradisi –dapat menjadi- ketetapan hukum)." Landasan penetapan kaedah ini diambil dari Surah Al-A’raf:199. "Khuz al-‘ufwa wa a’mur bi al-‘urfi wa a’ridh ‘an al-jahilin." Namun penelusuran seluruh kosakata urf dan turunannya dalam Al-Qur’an tidak memberi tempat untuk ditafsirkan "tradisi (5)." Juga dibentuk berdasarkan hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya (6).

Ilustrasi di atas menggambarkan kaedah-kaedah yang dirumuskan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Di samping itu, masih banyak kaedah-kaedah lain yang dirumuskan dari hadist-hadist yang spesifik bahkan fatwa-fatwa para imam mazhab. Lebih jauh, kaedah-kaedah yang "arbitrer" ini menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan perbedaan-perbedaan penetapan hukum.

Sebagai contoh akutnya perselisihan ini, bisa dikemukakan penafsiran Al-Qur’an surah An-Nur:33, persis pada potongan ayat; "Fakaatibuuhum in ‘alimtum fii him khoiraan." Bagian ayat ini menyuruh orang-orang Islam memperkenankan para budak mereka membeli kebebasannya dengan harga yang disepakati secara berangsuran(7).

Mazhab Zohiri berpendapat, pernyataan fakatibuu hum menunjukan wajibnya seorang tuan menerima permintaan budaknya dengan mukaatabah. Mazhab ini perpegang pada kaedah ushul fiqh; al-amru fii syaiin lii al-wujub. Di samping itu, juga perpegang pada sebuah riwayat yang diterima dari Anas Ibn Malik, yang menolak mukatabah salah seorang budaknya. Setelah ditegur Umar Ibn Khatab, Anas menerimanya. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ahli fiqh berpendapat, lafaz tersebut hanya anjuran bagi si tuan untuk menerima permintaan pembebasan diri dari budaknya. Mereka berlandaskan pada kaedah ushul fiqh; al-amru fii syaiin lii an-nadb. Di samping itu, jumhur juga berpendapat, mukatabah terikat pada syarat adanya keyakinan dari si tuan, jika pembebasan itu berdampak baik bagi budak tersebut. Syarat ini menunjukan bahwa si tuan tidak wajib menerima mukatabah. Alasan lain adalah, terdapat sabda Nabi yang terjemahannya, "Tidak halal harta seorang muslim kecuali atas izinnya." Karena menurut jumhur budak adalah harta, untuk itu mayoritas ulama fiqh berpendapat tidak syah mukatabah kecuali atas izin tuannya. Jumhur juga menyebutkan ijma’ (konsensus mayoritas ahli fiqh), bahwa seorang tuan tidak harus menerima usulan budaknya, sehingga mukatabah tidak wajib dilakukan oleh si tuan tersebut(8).

Penerapan kaedah ushul fiqh dalam memahami dan menyimpulkan ayat-ayat (hukum) Al-Qur’an seperti yang dijelaskan di atas, selain mengindikasikan betapa akutnya perselisihan yang terjadi, juga memperlihatkan penafsiran yang parsial, atau mungkin artifisial.

Kaedah-kaedah fiqhiyah yang disimpulkan dari nash-nash Al-Qur’an yang spesifik dan parsial, serta fatwa para imam mazhab, secara metodologis telah gagal sejak semula untuk dijadikan perangkat dalam memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara utuh. Tampak jelas bahwa penggunaan metode tersebut telah menendang pesan kitab suci yang paling vital, persamaan manusia dan egalitarianisme.

Katakanlah, meski pun Mazhab Zahiri mewajibkan membebaskan budak dalam kasus ini, namun argumentasinya tidak dibangun dari pemahaman yang utuh dari Al-Qur’an dan gagasan pokok Al-Qur’an tentang persamaan martabat manusia. Kegagalan memahami pesan pokok Al-Qur’an lantaran menggunakan metode ushul fiqh ini tidak disadari para ulama fiqh. Bahkan, ada kecenderungan saat ini untuk mencari solusi dari problematika sosial lewat kaedah-kaedah seperti ini (terutama problematika sosial yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an). Wallahu A’lam bi as-Showab.


Catatan Kaki:

1Lihat Sunan Abi Dawud, Jilid II, hal. 172, Dar al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994 M/1414 H.
2 Lihat misalkan tafsir ayat tersebut pada Hasyiah al-‘Alamah as-Showy ala Tafsir al-Jalalain, jilid II, hal. 132-133, Syaikh Ahmad as-Showy al-Maliky, Beirut-Libanon, Dar al-Fikr, tth.
3 Lihat misalkan, Al-Asy Bah wa an-Nadhoir fi al-Furu’ karya Jalaluddin as-Syuyuthi. Wafat 991 H. Hal. 6-7. Dar al-Kutub al-Islamy. Tth.
4 Lihat Al-Qur’an II:139, IV:156, VIII:29, XII:22,24, XIX:51 dan ayat-ayat lain yang berbicara tentang keesaan Allah, ditempatkan kata ‘ikhlash.’
5 Al-Qur’an II:89,241 III:104,114, IV:144 dan sejumlah ayat yang lain.
6 Op. Cit. Jalaluddin as-Syuyuthi, hal.63.
7 Kata khair di dalam Al-Qur’an dapat berarti "sesuatu yang baik," dapat pula berarti "harta." Dalam ayat ini berarti "harta." Lihat Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradaat al-Fazil a-Qur’an, Dar al-Katib al-Araby, 1972 hal. 163,164.l
8 Muhammad ‘Ali as-Syabuny, Rawa’i al-Bayan, Beirut:Dar-al-Kalam 1971, vol.II, hal. 191-193.