Saturday, November 6, 2010

Pantai-pantai Flores Yang Eksotik

Lokasi pemotretan di Perairan Ende, Riung, Pulau Ende, dam Pelabuan Bajo di Flores (Pulau Bunga)




































Wednesday, December 2, 2009

Ende Kota Pancasila

Buya A.A Aru Bone*


Ende. Mungkin tak banyak orang pernah mendengar nama ini,
apalagi mengunjunginya. Meski demikian, tak mengecilkan peran besar
kawasan kecil ini di masa lampau dalam mengilhami Bung Karno, Sang Proklamator memerdekakan Indonesia.

Kini, kawasan yang terletak persis di pesisir Laut Sawu, di antara apitan kaki Gunung Meja dan Gunung Wongge, adalah wilayah Ibukota Kabupaten Ende yang terletak di tengah bagian selatan Pulau Flores, yang oleh Bung Karno dalam banyak tulisannya dibanggakan dengan sebutan Pulau Bunga.

Dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kini kota kecil nan indah dan bersejarah itu dapat ditempuh melalui perjalanan udara dengan waktu tempuh sekitar 2 jam 30 menit, ditambah waktu transit 4 jam di Bandara Ngurarai, Denpasar, Bali.

Layanan penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandara Aru Busman, Ende, sementara ini hanya dilayani oleh Maskapai Merpati dengan jadwal penerbangan seminggu sekali tiap Kamis, dengan harga tiket pergi-pulang sekitar Rp3,5 juta hingga Rp4 juta per penumpang.

Tak hanya keindahan objek wisata alamnya seperti Danau Tiga Warna Kelimutu yang tersohor, pemandian airpanas Detusoko, kawasan Moni yang indah nan sejuk, alam bawah Laut Sawu yang memukau.

Lebih dari itu, pariwisata Kota Ende juga mengandalkan sejarahnya. Karena kota kecil inilah yang mengilhami Pahlawan Besar Bung Karno merumuskan Pancasila. Di Kota ini pula Bung Karno merumuskan konsep bernegara. Di kota inilah, Bung Karno mendapatkan ketenangan untuk berpikir mendalam, merenung guna menggali pikiran-pikiran cemerlangnya sebagai seorang intelektual.

Bagi anda yang pernah mengunjungi Ende, pasti sepakat dengan saya, bahwa keindahan dan kesunyian Ende di masa lalu, bersumbangsih mengilhami Soekarno menemukan pikiran-pikiran hebatnya tentang Indonesia.


* * *

Setelah keluar dari Penjara Sukamiskin di Bandung pada 31 Desember 1931, Bung Karno ditangkap untuk kedua kalinya pada 1 Agustus 1933. Saat ditangkap, Bung Karno tidak diadili tapi langsung diasingkan di Ende.

Dengan menumpang kapal laut,bersama istri Ibu Inggit Garnasih, ibu mertuanya Ibu Amsih dan putri angkat Ratna Djuami, Bung Karno diasingkan ke Ende oleh Belanda. Soekarno menjalani masa pengasingan di Ende selama empat tahun; 1934-1938.

Selama di Ende, beliau dan keluarga menempati sebuah rumah seluas 12 m
X 9 m, pemberian Raja Ende saat itu, almarhum Raja Aru Busman. Rumah bersejarah yang kini terletak di Jalan Perwira itu ditetapkan sebagai situs bersejarah dengan papan nama bertulis, "Situs Bekas Rumah Bung Karno di Ende."

Selain tumpukan ratusan judul buku milik Bung Karno yang disusun rapi di rak, di rumah itu tersimpan beberapa peninggalan Bung Karno, diantaranya, kamar tidur lengkap dengan ranjang besi, ruang semedi khusus tempat berjam jam Bung Karno sholat malam, kursi dan meja kayu kesukaan Bung Karno, delapan naskah toneel (naskah pementasan sandiwara yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia).

Delapan naskah sandiwara yang ditulis Bung Karno selama pengasingannya di Ende berjudul; Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, Kut Kut Bi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit dan Dr. Setan, serta belasan surat korespondensi Bung Karno dengan sejumlah tokoh di Jawa. Terkoleksi juga sepeda ontel yang biasa dikendarai Bung Karno, meja marmer, dua tongkat jalan, foto-foto Bung Karno selama di Ende dan sebuah lukisan karya Bung Karno tentang ritual keagamaan masyarakat Bali.

Selain rumah, di Ende juga terdapat beberapa tempat lain yang kini dijadikan monumen bersejarah oleh Pemerintah Kabupaten Ende. Diantaranya, lokasi pohon sukun bercabang lima, tempat kesukaan Bung Karno duduk menghabiskan sore, yang mengilhaminya merumuskan Pancasila (Ilham dari Flores Untuk Nusantara, 2006 ). Tempat yang terletak di tepi pantai Laut Sawu itu, kini berada persis di salah satu sisi lapangan sepakbola Perse Ende. Lokasi itu juga sering dikunjungi sejumlah pejabat tinggi dari Jakarta yang mampir ke Ende.

Juga terdapat Gedung Imasulata, tempat Bung Karno bersama para sahabatnya di Ende mementaskan sandiwara yang tertulis dalam delapan naskah Toneel karya Bung Karno. Juga Kali Nangaba, tempat Bung Karno biasa mandi bersama teman-temannya di Ende.

* * *

Rutinitas dan pikiran-pikiran Bung Karno sebagai intelektual selama menjalani 4 empat tahun pengasingan di Ende sebenarnya cukup tergambar, diantaranya, dari surat-surat panjang korespondensi yang ditulis Bung Karno kepada T.A. Hassan, Guru Persatuan Islam Bandung (Surat-Surat Islam dari Ende, Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 325-344 , edisi revisi, cetakan kelima, Juni 2005 ).

Diantaranya, dalam suratnya Bung Karno menulis bahwa rutinitas hariannya di Ende, lebih banyak diisi dengan membaca berbagai buku sosial dan keislaman berbahasa Inggris, Indonesia atau bahasa Eropa lainnya (Bung Karno menguasai 7 bahasa asing, kecuali Arab), yang merupakan kiriman teman-temannya di Jawa dan mbakyunya di Eropa.

"Kabar dari Ende, sehat wal afiat, alhamdulillah. Saya masih terus studi Islam, tapi sayang kurang perpustakaan, semua buku-buku yang ada pada saya sudah habis 'termakan.' Maklum, pekerjaan saya sehari-hari sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan disamping ngobrol dengan anak bini buat menggembirakan hati mereka adalah membaca saja. Berganti membaca buku-buku mengenai ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku mengenai Islam. Yang belakangan ini dari tangan orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmupengetahuan yang bukan Islam..." (Bung Karno)

Mencermati surat-suratnya, tanpa ragu saya berani bertaruh bahwa Bung Karno adalah seorang muslim taat yang sangat peduli pada Islam dan juga salah seorang pelopor pemikir keislaman yang sangat faseh mengulas gagasan keislamannya.

Di surat-surat itu tergambar jelas pandangan Bung Karno tentang pentingnya ijtihad, penolakannya atas taklid dan urgensi pembaharuan fiqih. Dia sangat faseh mengulas hubungan tauhid dan kemanusiaan, demikian juga hubungan Islam dengan negara, hubungan Islam dengan kemodernan. Bung Karno juga mengkritik keras para pengeluk-eluk khilafah islamiyah yang disebutnya kaum yang mengikat Islam pada zaman kuno yang tak berani maju menyongsong zaman.

Selain itu, Bung Karno juga menawarkan pembaharuan kurikulum pesantren.

"Kalau saya boleh memajukan sedikit usul: hendaklah ditambah banyaknya 'pengetahuan Barat' yang hendak dikasih kepada murid-murid pesantren itu. Umumnya adalah sangat saya sesalkan bahwa kita punya Islam scholar masih sangat sekali kurang pengetahuan modern science. Walau yang sudah bertitel 'mujtahid' dan 'ualama' sekalipun, banyak sekali yang mengecewakan pengetahuannya modern science...alangkah baiknya kalau Tuan punya mubaligh-mubaligh nanti bermutu tinggi, seperti Tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang sedalam dalamnya bahwa Islam disini -ya di seluruh dunia- tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang Islam hanya mempunyai 'sikap hidup' secara kuno sahaja, yang menolak tiap-tiap kebaratan dan kemodernan. Al Qur'an dan hadist adalah kita punya wet yang tinggi, tapi Qur'an dan hadist itu barulah bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca Qur'an dan hadist dengan berdasarkan pengetahuan umum. Ya, justeru Quran dan hadistlah yang mewajibkan kita menjadi cakrawarti di lapangannya segala science dan progress, di lapangan segala pengetahuan dan kemajuan. Kekolotan dan kemesuman itulah yang menyebabkan seluruh negara Barat memandang Islam sebagai agama yang anti kemajuan dan sesat..." (Bung Karno)

Gagasan-gagasan Bung Karno yang tergurat dalam surat-suratnya yang lain, bukan saja terdepan dan melampaui zamannya, lebih dari itu menggambarkan konsep negara seperti apa yang ia pikirkan bagi Indonesia saat itu.

"Islam adalah kemajuan, progress. Di dalam politik Islam pun, orang tidak boleh meng-copy barang yang sudah lama, tidak boleh mengulangi zamannya 'khilafah-khilafah' yang besar itu. Tidakkah di dalam langkah zaman yang lebih dari seribu tahun itu perikemanusiaan mendapatkan sistem-sistem baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu. Sistem demokrasi... (Bung Karno)

Dalam beberapa surat lain, Bung Karno juga menceritakan, selama di Ende ia sedang menyelesaikan menulis buku (tak disebutkan buku tentang apa) dan beberapa artikel permintaan beberapa sahabat pergerakannya di Jawa untuk diterbitkan dalam brosur-brosur propaganda.

Selain bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya di Ende yang dalam pengakuan Bung Karno ia katakan, lebih banyak mendengar dan menyimak perdebatan mereka. Bung Karno juga bertukar pikiran dengan kaum pastor di Ende. Dalam beberapa bagian suratnya kepada Hassan, Bung Karno menyampaikan respectnya terhadap kaum pastor yang menyebarkan Katolik secara sistematik dan penuh dedikasi. Ia juga mempertanyakan mengapa ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Persis tidak mendakwakan Islam di Flores dan daerah-daerah minoritas muslim lainnya.

Selain tempatnya memperdalam keislaman melalui buku-buku yang ia 'makam', Keheningan dan keindahan Ende lah yang menginspirasi Bung Karno merumuskan Pancasila. Di bawah pohon sukun raksasa bercabang lima yang menghadap ke Laut Sawu, Bung Karno menggoreskan penanya merumuskan Pancasila.

Pengakuan ini bukan saja disampaikan oleh putra putri Bung Karno, tapi juga berdasarkan pengakuan Bung Karno seperti yang ditulis Cidy Adams.

"Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan berjam jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan aku menciptakan Pancasila. Apa yang ku kerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya, dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah" (Sukarno: An Autobiography, Cidy Adams, 1965 hal. 300 ).

Butir butir Pancasila yang kini menjadi landasan falsafah negara itu rumusannya diformulasikan dan disampaikan pada rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945 , yang kemudian setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Walaupun rumusan butir butir Pancasila tidak sama persis dengan yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tapi butir-butir dari lima sila itu telah ditemukan jauh sebelum kemerdekaan. Fakta sejarah ini tak terbantahkan karena Bung Karno yang mengatakannya sendiri.

Ahli sejarah Universitas Indonesia, Yuke Ardhianti dalam kunjungannya ke Ende mengatakan, peringatan 75 tahun Bung Karno harus dijadikan titik tolak bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Ende untuk memperkenalkan sejarah dan keunikan Kota Ende agar lebih dikenal luas mayarakat.

"Bukan hanya Danau Kelimutu atau mungkin Situs Bung Karno, tapi benar benar Ende ini Kota Pancasila, lahirnya mutiara nilai nilai Pancasila lewat perenungan Bung Karno di Kota Ende hingga tercetus kemerdekaan negeri ini," kata Yuke di depan Situs Bung Karno di Ende (Kompas, 6 Agustus 2009 ).

*Sekadar coretan iseng mengisi kesendirian di malam minggu :)

Wednesday, August 12, 2009

Tenun Ikat Flores

Oleh:
Buya A.A. Aru Bone

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya bercerita tentang keindahan alam laut dan darat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tapi khusus pada tulisan ini, saya ingin bertutur tentang keeksotikan tenun ikat Flores yang jamak menjadi ole-ole bagi para pelancong yang pernah menjejakkan kaki di Pulau Bunga.

Pulau Flores adalah pulau utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia dikelilingi oleh puluhan pulau-pulau kecil dari ujung barat hingga ujung timur.

Pulau Flores didiami oleh hampir tiga puluh suku kecil dan besar. Setiap suku mempunyai bahasa daerah dan dialeknya masing-masing yang sangat sulit diucapkan dan dipelajari bagi para pendatang, meski bertahun-tahun telah menetap.

Diantara beberapa suku-suku dominan, di bagian barat pulau menyebar orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende. Terus ke timur menetap orang Lio, Sikka dan Larantuka. Sejak negeri ini merdeka, masing-masing suku yang awalnya merupakan kerajaan-kerajaan lokal itu membentuk wilayahnya menjadi pemerintahan kabupaten. Karena itu, tiap-tiap kabupaten di Flores memiliki bahasa daerah dan tradisinya masing-masing yang tak sama satu dengan lainnya.

Tak hanya itu, mayoritas masing-masing penduduk di tiap kabupaten pun memeluk agama berbeda. Suku Ngada, Riung, Naga Keo adalah mayoritas pemeluk Katolik Ortodoks. Masyarakat Ende yang pada masa Portugis hingga Belanda mendirikan Kerajaan Ende, merupakan mayoritas muslim. Sementara suku Lio, Sikka hingga Larantuka umumnya pemeluk Protestan dan Katolik.


Meski berbeda suku, bahasa daerah, tradisi bahkan agama, namun semua suku, semua wilayah, semua daerah di Flores mewarisi satu tradisi yang sama, yaitu, tradisi tenun ikat.


Kesamaan tenun ikat semua suku di Flores ditemukan pada kesamaan bahan-bahan, teknik membuat benang, teknik menenun, teknik meracik warna dan alat pembuat. Perbedaannya hanya terdapat pada variasi motif, warna dan ragam hias.

Karena itu, pada umumnya kain tenun ikat Flores yang dibuat oleh kaum wanita berbahan dasar kapas yang dipilin menjadi benang oleh penenunnya sendiri, berbenang kasar, pewarnaan benang terbuat dari racikan beberapa jenis tumbuhan khas Flores, seperti mengkudu, tarum, zopha, kemiri, ndongu, buah usuk dan lain–lain.

Motif kain tenun tiap-tiap suku di Flores berbeda dengan kekhasannya dan ragamnya masing-masing. Teknik pembuatan motif kain tenun dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama dua hingga tiga purnama.

Seringkali pencelupan benang yang dipilin dari kapas dilakukan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung.

Ketika kerajaan-kerajaan lokal di Flores masih ada, sejumlah kelompok wanita bekerja khusus sebagai pembuat kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja-raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial, sekarang tidak lagi. Kini kain tenun ikat Flores dibuat untuk dijual di pasar, dipakai sehari-hari dan untuk upacara adat.

Semua kain tenun ikat Flores harus ditenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit di pinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan.

Kapas yang telah dipilin menjadi benang oleh sang wanita penenun pun ditenun dua hingga tiga purnama saban hari menggunakan alat tenun sangat tradisional yang terdiri dari konggo, kape, fia, phoku dan sippe.

Alat-alat tenun sangat tradisional yang terbuat dari kayu dan bambu itu, berpadu melilit pinggang wanita penenun dari mentari setinggi tombak hingga sore menjelang.

Tiap gerakan dua tangan terampilnya memadukan alat-alat tenun, menghadirkan alunan sentakan menggoda, tercipta nada yang seakan melafazkan jeritan kehidupan.

Meski terdapat kesamaan dalam bahan-bahan, teknik membuat benang, alat tenun, teknik menenun dan meracik warna, namun tiap wilayah di Flores mewarisi motif tenun yang beragam.

Misalkan di daerah Ngada, terdapat motif tenun songket kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Tetapi tak seperti songket Palembang, kain tenun songket Ngada, Flores, yang ditenun dengan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain songket Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang tanpa benang emas dan perak layaknya songket Palembang.


Motif lain yang kerap dikreasikan masyarakat Ngada adalah motif dengan dominasi warna-warna gelap, antara lain, dengan kombinasi warna biru dan cokelat dengan garis-garis sederhana.


Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif flora yang dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil berwarna putih, merah dan biru.

Di kalangan masyarakat Sikka, motif kain tenun tak terlalu semarak. Umumnya didominasi warna hitam, biru tua atau biru hitam, dihiasi dengan jalur-jalur biru muda atau biru toska.

Selain itu, ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka, kain tenun warna hitam atau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun berwarna terang.

Kain tenun motif masyarakat Sikka bertolak belakang dengan motif tenun masyarakat Lio. Kain tenun ikat Lio, Flores tengah, bermotif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok, juga dihiasi motif daun, dahan, fauna dan ranting.

Kain tenun ikat dari kawasan ini dibuat lebih halus, lebih semarak ragam hiasnya dari manik dan kerang. Kain tenun ikat Lio dibuat dengan latar warna cokelat tua, diberi ragam hias berwarna cokelat muda campur kuning bergaris geometris dalam bentuk flora dan fauna.

Sementara kain tenun ikat Flores dari kawasan Ende, pesisir selatan Flores, menurut keterangan nenek dan beberapa sepupu perempuan saya yang memiliki keahlian menenun kain ikat, dikatakan bahwa motif kain tenun Ende, Flores, dipengaruhi oleh motif Eropa. Alasan mereka, Kerajaan Ende yang pendiriannya terkait perang di Gowa, Sulawesi, sejak masa Portugis berinteraksi dengan bangsa Eropa.

Kain tenun ikat Ende lebih banyak menggunakan warna dasar hitam, yang dipadu dengan cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif ala Eropa.

Salah satu ragam hias kain tenun Ende, Flores, yang berbeda dengan kain daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai.

Adapun motif kain tenun Ngada, Flores, mempunyai keunikan di bagian kepala berwarna biru tua dan bagian badan kain di kiri dan kanan berwarna merah. Motif ragam hiasnya terletak pada bagian tengah kain. Hiasan pinggir atas dan bawah berupa tumpal bentuk daun.


Deskripsi sederhana ini semoga mampu menggambarkan ragam tenun ikat Flores yang hingga kini masih dipelajari dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.

Warisan ini terus dilestarikan meski hingga hari ini tak terasa kehadiran dukungan pemerintah sehingga para penenunnya tetap terbelit kemiskinan dan belum mampu bersaing dalam dunia usaha.

Terselip kekhawatiran, akankan di masa depan tradisi warisan nenek moyang ini masih tetap dipelajari dan dilestarikan, toh dari sisi ekonomi tak mampu bersaing dengan kain-kain modern pabrikan.

Saya berharap, suatu saat nanti para penenun dari Pulau Bunga ini difasilitasi pemerintah dan dunia perbankan agar mampu menjadi pelaku-pelaku industri dan perajin kecil-menengah, seraya mampu menghidupi keluarganya dari profesi mulia ini, layaknya saudara-saudara mereka di Pulau Jawa yang melestarikan batik. Allahu a’lam

Wednesday, June 17, 2009

Vote Komodo for New 7 Wonders

Buya A.A. Aru Bone

Rakyat Merdeka online
Jumat, 12 Juni 2009, 22:07:07 WIB

Dalam kurun 2009-2011, lembaga nirlaba internasional yang fokus pada pematenan keajaiban dunia, The Seven Wonders Foundation, kembali menggelar poling Tujuh Keajaiban Dunia yang mengangkat tema keajaiban alam. Terdapat tujuh grup, yakni grup A (Pemandangan) , B (Pulau), C (Gunung Merapi), D (Lembah), E (Taman Nasional), F (Danau dan Air Terjun), dan G (Seascapes).

Indonesia kita yang kaya akan keindahan dan keunikan alamnya, menempatkan Taman Nasional Gunung Krakatau, Taman Nasional Danau Toba dan Taman Nasional Komodo. Tapi Danau Toba dan Krakatau rontok di babak awal.

Kini, hanya Taman Nasional Komodo yang mampu bertahan dan bersaing ketat dengan sejumlah objek keajaiban alam lain, diantaranya, Puerta Princesa (Filipina), Soundarbans Forest (Banglades), Amazon (Brasil), Christmas Island (Australia) dan Tree if Life (Bahrain).

Pada tahun 2007, dalam poling serupa Indonesia menempatkan Borobudur sebagai kandidat keajaiban dunia. Tapi candi legendaris itu gagal dipatenkan sebagai salah satu keajaiban dunia karena kurangnya partisipasi masyarakat memberi suara.

Sejumlah pihak optimis Taman Nasional Komodo mampu terpilih sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia. Optimisme itu bukan hanya karena Sang Naga adalah satu-satunya hewan prasejarah yang hidup di kolong bumi, tapi juga karena keindahan panorama laut dan darat kawasan Taman Nasional Komodo yang kaya spesies, indah dan eksotik.

Namun, optimisme itu akan berakhir hampa jika partisipasi publik Indonesia untuk memilih Komodo kalah saing dengan partisipasi publik negara-negara lain yang memilih objek-objek keajaiban dunia lain. Karena itu, partisipasi berbagai lapisan masyarakat untuk memberikan dukungan maksimal terhadap Taman Nasional Komodo yang terletak di wilayah Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah penentu lolos tidaknya objek wisata kebanggaan bangsa itu menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia.

Menyambut langkah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang kini menggelar roadshow ke beberapa kota mengkampanyekan agar publik berpartisipasi menyalurkan suara memilih Taman Nasional Komodo, maka sepatutnya kita menyambut kampanye itu dengan meluangkan waktu sejenak untuk menyalurkan suara memilih Taman Nasional Komodo menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia.

Berikan suara anda untuk Taman Nasional Komodo dengan mengakses langsung di situs web www.new7wonders. com. Tentu sebagai warga bangsa, kita semua tak ingin Zamrut Khatulistiwa ini gagal menempatkan salah satu objek wisata alamnya dalam daftar New7wonders. Karena keberhasilan menempatkan Taman Nasional Komodo masuk dalam New7wonders adalah langkah stategis untuk mempromosikan pariwisata Indonesia ke mancanegara. Suara anda sangat berarti.

Saturday, May 16, 2009

Narsisme Plus Para Capres

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=141&page=1
GAZEBO
Minggu, 17 Mei 2009, 00:10:04 WIB

Oleh: Buya AA Aru Bone*


Setelah beberapa pekan publik dibuat penasaran oleh lobi-lobi partai yang dilakukan tertutup, kini jelas sudah pasangan capres/cawapres yang akan berkompetisi pada Pilpres 2009.

Tiga pasang capres/cawapres yang telah mendeklarasikan diri lalu mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum adalah: Jusuf Kalla-Wiranto (JK WIN), Megawati-Prabowo (Mega Pro) dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY Berbudi).

Selanjutnya, satu dua bulan ke depan publik dan media massa akan disuguhi tontonan perang pencitraan dan saling kritik yang substansinya tak jauh dari narsisme politik yang tak banyak memberikan pendidikan politik bagi publik.

Narsis sebenarnya bahasa gaul anak muda. Dalam bahasa gaul, narsis kira-kira berarti, kebiasaan untuk menunjukkan diri secara berlebihan. Nah, kalau narsis menjadi cara pandang yang ditempuh untuk mencapai kemenangan dalam gelandang politik, maka bisa disebut narsisme politik.

Perang pencitraan yang bersubstansi narsisme politik itu sesungguhnya menjangkiti para pasangan capres/cawapres yang bertarung pada Pilpres 2009. Bahkan, yang mereka idap sebenarnya lebih parah dari sekadar narsisme politik, karena ada aspek menyerang pasangan calon capres/cawapres lain. Karena itu, saya menyebutnya narsisme plus.

Salah satu indikatornya, tampak pada jargon yang diusung masing-masing pasangan capres/cawapres. Selain narsis, dari jargon yang mereka usung, tampak jelas pesan untuk menyerang pasangan yang menjadi lawan paling tangguh.

Mari kita buktikan. Pasangan capres/cawapres Golkar dan Partai Hanura yang mengusung JK WIN mempopulerkan jargon “Lebih cepat, lebih baik.” Jargon ini merupakan upaya untuk menonjolkan diri JK bahwa ia adalah capres yang paling cepat mengambil tindakan dan paling lihai membaca peluang. Selain itu, jelas merupakan serangan terhadap gaya kepemimpinan capres SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden saat ini yang dikenal lamban, peragu dan hati-hati dalam mengambil keputusan.

Demikian juga dengan jargon yang diusung capres/cawapres PDIP dan Gerindra; Megawati-Prabowo. Pasangan ini mengusung jargon Mega Pro Rakyat. Pasangan ini menggadang-gadangkan ekonomi kerakyatan untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Selain bersikap narsis dengan memuji diri sendiri secara berlebihan sebagai pemerhati wong cilik, jargon yang diusung jelas menyerang SBY yang menggandeng Boediono sebagai cawapres dan dikenal pro ekonomi neoliberal yang dikesankan anti ekonomi kerakyatan.

Konon katanya, jargon-jargon seperti itu merupakan bagian dari strategi menjual calon yang diusung. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah jargon yang bersubstansi narsis dan menyerang tersebut memang benar-benar efektif untuk memperkenalkan pasangan capres/cawapres? Apakah jargon seperti itu efektif untuk membantu pemilih menentukan pilihannya dalam Pilpres nanti?

Konon, jargon seperti itu diadopsi dari strategi pemasaran dalam ilmu komunikasi. Sah-sah saja mengadopsi metode seperti itu untuk diterapkan dalam ranah politik menjual calon presiden/calon wapres.

Tapi yang perlu diingat, cara menjual calon presiden/cawapres tentu tidak sama dengan cara menjual barang. Karena itu stategi tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di ranah politik.

Jargon narsis plus tersebut, menurut saya hanya akan memberikan efek adanya attention (perhatian) dari pemilih. Padahal dalam teori komunikasi seperti yang disebut Wilbur Schram yang disebut AIDDA (Attention, Interest,Desire, Decission, Action), perhatian menduduki posisi awal dalam sebuah proses komunikasi massa.

Artinya, slogan yang cenderung narsis plus itu hanya untuk sekedar memperkenalkan pasangan calon, bisa dikatakan efektif. Tapi dalam politik ‘kan tidak cukup dikenal, para capres/cawapres itu tentu maunya setelah dikenal, ada keinginan dan keputusan dari rakyat untuk memilih mereka dalam pemungutan suara Pilpres.

Nah untuk bisa mempengaruhi keinginan dan keputusan pemilih memilih mereka, tentu mereka harus melakukan komunikasi dua arah yang memungkinkan adanya feed back dari publik atas visi misi yang meraka tawarkan. Komunikasi dua arah penting untuk mengetahui respon publik pada tahap menarik perhatian untuk memilih.


Tentu saja perlu memaksimalkan mesin partai dan ormas agar komunikasi dua arah mampu menjangkau pemilih yang demikian luas. Karenanya, pasangan capres/cawapres JK WIN dan Mega Pro yang mengusung jargon narsisme plus yang muaranya adalah memberikan deferensiasi politik dari pasangan SBY Berbudi yang dinilai sebagai pasangan tertangguh, hanya akan berakhir kegagalan jika Golkar-Hanura atau PDIP-Gerindra beserta partai-partai pendukungnya gagal memaksimalkan peran mesin partai dan absen menjalin komunikasi dua arah dengan rakyat pemilih.

Selain itu, upaya tersebut harus diiringi dengan stategi pencitraan yang tidak narsis dan menyerang pasangan calon lain yang dinilai paling tangguh.

Melainkan, melalui strategi pencitraan yang mampu memberikan pendidikan politik bagi masyarakat pemilih. Strategi pencitraan yang tidak kelewat percaya diri (over-confidence) atau hanya menunjukan arogansi kosong berlebihan, agar Pemilu yang sejatinya juga merupakan proses pembelajaran berdemokrasi juga mampu memberikan pembelajaran politik dan demokrasi bagi rakyat pemilih. Wallahu A’lam

Thursday, March 19, 2009

Kualitas Parpol Kualitas Demokrasi

Diterbitkan Rakyat Merdeka online

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=137&page=1

Jumat, 06 Maret 2009, 18:27:44 WIB


Catatan: Buya A. A. Aru Bone*


Partai politik (parpol) merupakan institusi demokrasi yang secara langsung menentukan kualitas demokrasi. Posisi signifikan parpol ini disebabkan fungsi dan perannya di pemilu, pilkada dan lembaga legislatif di pusat dan daerah.

Ketika pemilu dan pilkada, parpol berperan sebagai institusi yang menyeleksi, menganalisa dan menentukan pencalonan para pasangan kepala daerah, capres dan wapres, serta para calon anggota legislatif di pusat dan daerah, sebelum dihidangkan di atas meja pemilu dan pilkada untuk dipilih oleh rakyat pemilih.

Di lembaga legislatif pusat dan daerah, peran parpol juga sangat signifikan dan menentukan. Melalui fraksinya yang merupakan perwakilan parpol di lembaga legislatif di pusat dan daerah, parpol merupakan satu-satunya instutusi yang mengarahkan, bahkan menentukan pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Karena dalam prakteknya, mekanisme pengambilan keputusan di DPR/DPRD menempuh mekanisme kesepakatan fraksi, bukan mekanisme voting dan musyawarah.

Maka dalam menjalankan fungsi dan hak budgeting, pengawasan dan legislasi di DPR/DPRD, para wakil rakyat sesungguhnya kerap merepresentasikan dirinya sebagai wakil parpol. Mereka kerap tidak independen karena terancam hak recall parpol atau khawatir tidak dicalonkan pada pemilu selanjutnya.

Di DPR, mekanisme kesepakatan fraksi kerap ditempuh dalam pemilihan (persetujuan) para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti, MA, MK, BPK, serta para pimpinan lembaga-lembaga independen negara seperti, KPK, Dewan Gubernur BI, Komnas HAM, anggota KPU, anggota Panwaslu, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, anggota KPPU. Demikian pula persetujuan atas calon Kepala Polri, Panglima TNI dan para Duta Besar yang diusulkan Presiden.

Sampai disini, sebaiknya dipahami bahwa kualitas pemilu, pilkada, presiden dan wapres, kualitas para pasangan kepala daerah, kualitas para anggota DPR dan DPRD, demikian juga kualitas para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara dan lembaga-lembaga independen negara, semuanya sangat bergantung pada kualitas parpol.

Dengan kata lain, kiranya cukup proporsional jika dikatakan, bahwa kualitas parpol secara langsung berpengaruh pada kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau, kualitas parpol secara signifikan menentukan kualitas demokrasi.

* * *

Kualitas parpol titik tekannya adalah kualitas pengelolaan parpol. Kualitas pengelolaan parpol di Indonesia pada umumnya tidak konsisten dengan aturan pengelolaan partai yang secara normatif tertera pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) tiap parpol yang secara umum, dalam tataran normatif dapat dikatakan cukup demokratis.

Berdasarkan sejumlah interaksi saya -sebagai wartawan politik- dengan sejumlah pimpinan parpol kelas menengah dan besar, serta mencermati dinamika partai politik yang diberitakan media massa, secara umum dapat dikatakan, ada tiga kultur yang menyebabkan kualitas pengelolaan parpol berisiko melenceng dan merusak mekanisme demokratis internal parpol terkait pengambilan keputusan parpol yang secara normatif diatur dalam AD/ART parpol bersangkutan.

Pertama, kultur politik uang. Secara off the record, sejumlah pimpinan parpol besar dan menengah, serta sejumlah calon anggota legislatif DPR mengkonfirmasi praktek politik uang di lingkungan parpolnya.

Dalam bentuk terselubung, praktek politik uang mempopulerkan istilah-istilah, uang mahar dalam pilkada, uang pembinaan daerah pemilihan dan jual beli kursi.

Kepada saya beberapa caleg DPR dan DPRD pernah juga mengakui harus membayar sekian ratus juta agar menempati nomor jadi caleg DPR di beberapa partai politik atau dicalonkan dari daerah pemilihan basah.

Bahkan di hadapan saya, seorang ketua umum partai Islam gurem pernah meminta seorang kadernya menyiapkan uang Rp400 juta untuk pencalonan sang kader di nomor urut 1 di daerah pemilihan DKI Jakarta (sebelum hadirnya putusan MK tentang suara terbanyak). Ini kisaran angka partai gurem. Tentu jumlah yang jauh leih besar harus disediakan jika di parpol besar.

Praktek politik uang di lingkungan parpol tidak hanya terjadi di ranah pemilu dan pilkada, tapi juga di lembaga legislatif DPR/DPRD. Melalui mekanisme pengambilan keputusan kesepakatan fraksi, pimpinan parpol juga memiliki bargain potition dalam pemilihan sejumlah pimpinan lembaga tinggi dan lembaga independen negara.

Fenomena praktek politik uang sesengguhnya marak terjadi di lembaga legislatif pusat dan daerah. Terungkapnya beberapa kasus anggota DPR yang tertangkap tangan oleh KPK menerima suap dari rekanan atau komponen pelaksana negara, adalah sedikit contoh yang karena sedang sial, ia pun tertangkap.

Suap di lembaga legislatif pada prinsipnya bukan diterima oleh individu anggota legislatif saja, tetapi dikucurkan secara kolektif kepada mayoritas anggota Komisi dan Fraksi (yang merupakan perwakilan parpol) karena persetujuan budgeting atas suatu usulan program atau proyek yang diajukan oleh lembaga eksekutif, persetujuan pemilihan pimpinan lembaga tinggi dan lembaga independen negara, adalah keputusan kolektif fraksi dan komisi. Karena itu tidak masuk akal jika suap hanya diterima oleh satu atau dua anggota legislatif saja.

Bila kebijakan suatu parpol di tingkat internal dan lembaga legislatif (melalui fraksinya) didominasi oleh politik uang, pastilah akan berbuah korupsi sistematis dalam pengelolaan negara di legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga negara lainnya. Logikanya, ya logika dagang. Uang yang digunakan sebagai investasi politik bukan hanya harus balik modal, tapi untung berlipat ketika menjabat.

Kedua, budaya feodal. Feodalisme adalah antitesa demokrasi. Tetapi anehnya, ada beberapa parpol menengah dan besar justeru sengaja menumbuhkan dan memelihara feodalisme di internal parpol. Tidak sulit bagi kita menyebut beberapa partai yang berkarakter feodalistik.

Seperti halnya politik uang, secara internal feodalisme juga bersifat destruktif terhadap kemandirian berbagai mekanisme internal pengambilan keputusan politik parpol di pusat dan daerah. Dalam praktek politik Indonesia , feodalisme menempatkan restu ketua umum parpol, apalagi instruksinya sebagai titah suci yang wajib dipatuhi. Feodalisme kerap menempatkan berbagai mekanisme pengambilan keputusan parpol di tingkat internal hanya sebagai kedok dan formalitas. Karena itu, feodalisme parpol pasti merusak iklim demokrasi di internal parpol.

Ketiga, budaya konflik. Dengan hanya memperhatikan berita media massa , tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan budaya konflik marak terjadi di sejumlah parpol. Memang benar, ada satu dua parpol yang lumayan matang mengelola konflik internal. Tapi umumnya, parpol tak mampu mengelola konflik internal.

Selain karena faktor kedewasaan politik para pimpinan parpol, konflik internal parpol kerap bermotif rebutan kuasa. Kondisi ini terjadi karena menempatkan parpol sebagai alat memperoleh kekuasaan semata alias demi pragmatisme politik tok. Ini dimungkinkan karena banyak politisi terjun ke politik dengan idealisme minim, bahkan demi mencari nafkah semata.

Tiga kultur tersebut, menurut saya, secara signifikan menyebabkan kualitas pengelolaan parpol berisiko melenceng dan merusak mekanisme demokratis internal parpol yang secara normatif diatur dalam AD/ART parpol bersangkutan.

Hancurnya demokrasi di internal parpol menemukan akselerasinya karena parpol-parpol di kepengurusan tingkat pusat dan daerah, umumnya belum memiliki manajemen organisasi profesional dan efektif, minim sumberdaya manusia dan mengalami kendala pendanaan.

Nah, jika dalam pengambilan keputusan terkait pencalonan capres/cawapres, pencalonan para anggota legislatif di pusat dan daerah, pencalonan para kepala daerah. Demikian pula dalam mengemban tugasnya di lembaga legislatif di pusat dan daerah, parpol lebih didominasi politik uang, feodalisme dan konflik rebutan kuasa, maka rakyat pemilih hanya akan menjadi objek pelengkap penderita.

Sementara pemilu, pilkada, dan berbagai mekanisme pengambilan keputusan di lembaga legislatif di pusat dan daerah hanya sekadar prosedur. Hasilnya, demokrasi pun sekadar demokrasi prosedural yang rendah mutu, rendah kualitas dan tak mampu melahirkan good governance di pusat dan daerah. Wallahu a’lam

Demokrasi Mutanajis

Diterbitkan Rakyat Merdeka online

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=136&page=1

Jumat, 27 Februari 2009, 13:20:52 WIB

Oleh: Buya A.A. Aru Bone


Sepanjang 10 tahun reformasi dan demokratisasi, Indonesia telah melakukan pembaharuan pada sejumlah aspek sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada aspek politik, negeri ini panen pujian dari komunitas internasional karena merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Diantaranya, karena penerapan sistem pemilu langsung untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan para anggota DPR/DPRD. Serta pilkada langsung untuk pemilihan para gubernur, bupati dan walikota. TNI yang selama Orde Baru terlibat politik praktis melalui Dwi Fungsi, kini telah kembali ke barak sembari melakukan pembaharuan internal menuju tentara profesional. Partai politik bukan hanya tidak diawasi seperti masa Orde Baru, tapi juga tumbuh subur karena sistem multipartai.

Pada aspek pengelolaan pemerintahan, pelaksanaan pemerintahan semasa Orde Baru yang sentralistik, kini berganti wajah Otonomi Daerah. Para gubernur, bupati, walikota dan DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, kini bebas dan berhak penuh menentukan arah pembangunan daerah, administrasi dan perencanaan, serta pengelolaan keuangan daerah.

Dalam aspek ketatanegaraan, sistem tata negara kita kerap disebut sempurna menyusul hadirnya Mahkamah Konstitusi yang berwenang menangani sengketa antar lembaga tinggi negara, pertentangan Undang Undang dengan Undang Undang Dasar, serta penyelesaian sengketa hasil pilkada dan pemilu.

Untuk aspek peradilan dan penegakan hukum, Mahkamah Agung yang merupakan benteng terakhir keadilan, kini bukan lagi subordinasi pemerintah karena secara independen berwenang penuh mengatur dirinya sendiri dari segi anggaran, penempatan dan pembinaan hakim serta pemilihan pimpinan Mahkamah Agung.

Tidak sampai di situ, Reformasi juga menghadirkan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian yang berwenang mengawasi, menilai, bahkan menjatuhkan (merekomendasikan) sanksi terhadap para penyidik kepolisian, hakim dan jaksa dalam penanganan suatu perkara.

Di aspek perbankan. Bank Indonesia yang berwenang menentukan arah ekonomi makro, devisa serta pengelolaan dan pengaturan sistem perbankan nasional, kini juga independen bukan lagi merupakan subordinasi presiden.

Sementara di aspek bisnis dan usaha, kini hadir Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha yang independen dan berwenang memeriksa, menilai, mengawasi dan memberi sanksi bagi badan usaha yang melenceng dari prinsip-prinsip usaha yang adil dan bersih.

Di tingkat sosial, pers yang kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi, kini secara penuh menikmati kebebasan mengemukakan pendapat, mengawasi dan mengkritik pelaksanaan pengelolaan negara pada berbagai aspek dan tingkatan. Komponen masyarakat sipil pun kini bebas berserikat dan bersuara, LSM tumbuh subur tanpa pengawasan apalagi pelarangan. Bahkan para pekerja pun bebas berserikat, bersama memperjuangkan hak-haknya.

Reformasi juga melahirkan lembaga indepanden yang memiliki kewenangan super guna terciptanya pelaksaan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab, seperti Komisi Pembarantasan Korupsi dengan segenap perangat perundangan dan peradilannya, serta Badan Pemeriksa Keuangan.

Menurut akal sehat, pembaharuan pada aspek politik, hukum, peradilan, ekonomi, perbankan, sosial dan ketatanegaraan yang telah terlaksana dengan baik di atas, semestinya tidak lagi memberi kita alasan untuk bermasalah dengan kualitas kepemimpinan dan penyelengaraan pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Reformasi sistemik pada banyak aspek bernegara di atas seharusnya menghadirkan good governance pada semua aspek dan lapisan pengelolaan negara.

Tapi kenyataannya, korupsi bukan saja masih marak tapi pemberantasannya masih tebang pilih dan tebang untung, pemborosan keuangan negara jamak terjadi pada setiap aspek dan lapisan institusi negara, pelaksanaan pemerintahan di Pusat dan Daerah minim accountabilitas. Seperti halnya korupsi, nepotisme dan kolusi pun masih dimaklumi sebagai bentuk usaha mempertahankan hidup, putusan hukum dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik pun masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Masyarakat umumnya masih jauh dari standar hidup sejahtera karena ketiadaan distribusi keadilan ekonomi.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apa yang kurang dengan pembaharuan sistem demokrasi kita?

Najis di Hulu
Jika reformasi dan demokratisasi diibaratkan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, maka selama 10 tahun Indonesia telah sukses menciptakan sistem dan lembaga-lembaga demokrasi di ujung sana , di hilir.

Reformasi memang telah menggerakan bandul kekuasaan dari tangan Soeharto di masa Orde Baru ke tangan rakyat. Namun harus diingat, bahwa sesungguhnya rakyat tidak pernah menggenggam kekuasaan. Dengan sistem demokrasi keterwakilan, bandul kekuasaan itu kini berada di tangan perwakilan rakyat (DPR) yang ditentukan oleh partai politik untuk disodorkan kepada rakyat agar dipilih melalui mekanisme pemilu.

Dengan demikian dapat dikatakan, bandul kekuasaan itu kini digenggam oleh partai politik melalui perwakilannya di DPR. Maka di era Demokrasi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah rakyat, tapi partai politik! Maka partai politik melalui

DPR adalah lembaga yang paling berkuasa dan menentukan maju mundurnya Republik Indonesia . Saya akan meneruskan logika ini dengan mengajukan bukti betapa sangat berkuasanya partai politik melalui DPR.

DPR sebagai salah satu lembaga tinggi negara memiliki sejumlah peran dan fungsi penting menentukan arah dan kebijakan negara.

Pertama, hak budget. Melalui hak budget DPR berkuasa menentukan APBN. Hak budget merupakan kekuasaan amat penting dan strategis karena berwenang menentukan prioritas anggaran dalam hal besaran, sector dan daerah.

Kedua, fungsi legislasi. Melalui fungsi legislasi DPR berwenang membahas dan mengesahkan semua Undang Undang yang diusulkan pemerintah. Maka DPR berwenang menentukan arah perjalanan dan tata cara bernegara.

Ketiga, fungsi pengawasan. Dengan fungsi pengawasan yang merupakan amanat konstitusi, DPR bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Dengan hak angkat dan hak interpelasinya, dalam menjalankan fungsi pengawasannya DPR berhak penuh memanggil semua lembaga penyelenggara negara dan swasta. Semuanya wajib datang bila dipanggil.

Selain itu, DPR juga berhak memilih Dewan Gubernur Bank Indonesia, hakim agung, anggota dan Ketua Mahkamah Konstitusi, para ketua dan anggota komisi-komisi independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Pengawas Pemilihan Umum, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, para anggota Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha. DPR juga berwenang memberi penilaian dan persetujuan terhadap calon Panglima TNI dan Kepala Polri yang diusulkan presiden, serta melakukan uji kelayakan dan kepatutan para calon duta besar yang diajukan presiden.

Maka cukup tergambar betapa sangat berkuasanya DPR. Dengan kekuasaan yang demikian besar, tak berlebihan jika DPR disebut sebagai lembaga yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, siapa sebenarnya yang menguasai DPR?

Sebagai lembaga politik yang diisi oleh para politisi, tentu saja motif dan nuansa politik sangat kental dalam setiap pengambilan keputusan di DPR. Secara normatif, mekanisme pengambilan keputusan di DPR menempuh mekanisme musyawarah dan voting.

Tetapi dalam prakteknya, pengambilan keputusan di DPR adalah berdasarkan kesepakatan fraksi yang merupakan perwakilan partai politik di DPR. Kerap kali para anggota DPR tidak independen karena dibayang-bayangi hak recall yang dijatuhkan fraksi (partai politik) bila anggota DPR mbalelo.

Jadi, tak berlebihan jika dikatakan bahwa yang berkuasa di DPR sesungguhnya adalah partai politik karena partai politik melalui fraksinya adalah satu-satunya institusi yang mengarahkan setiap pengambilan keputusan di DPR. Maka tak berlebihan pula jika dikatakan bahwa, partai politik adalah institusi demokrasi yang menjadi tulang punggung yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Partai politik adalah hulu pengambilan keputusan di DPR.

Demikian juga ketika pemilu atau pilkada, partai politik pun tetap berkuasa, bukan rakyat. Anda boleh girang ketika Indonesia dipuji dunia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia karena menggelar pemilu dan pilkada langsung.

Tapi ingat, ketika berada di bilik suara untuk menggunakan hak pilih, rakyat hanya memilih para calon anggota DPR/DPRD, calon presiden dan wakil presiden serta kepala daerah yang disodorkan oleh partai politik. Ketika menggunakan hak pilihnya, rakyat tidak pernah tahu dan tak pernah diberi tahu bagaimana mekanisme, proses seleksi dan pertimbangan pengajuan seorang calon oleh partai politik karena wewenang penentuan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif dan pasangan calon kepada daerah sepenuhnya merupakan hak partai politik.

Maka jika proses demokrasi ibarat aliran sungai, maka partai politik adalah hulunya. Demikian gambaran partai politik sebagai institusi penting demokrasi. Tetapi parahnya, sebagai institusi penting demokrasi, realitas partai politik kita jauh dari sekadar mendekati ideal. Pada umumnya partai politik kita tidak demokratis; tercemar najis feodal, najis otoriter dan najis budaya politik uang.

Jika hulu sungai demokrasi kita terkena najis (mutanajis), mengalami pencemaran, maka di hilir pasti juga tercemar. Maka secara keseluruhan, proses demokratisasi yang oleh para ahli kerap disebut dimulai dengan pemilu atau pilkada pun tercemar najis.

Najis feodal, otoriter, politik uang dari hulu terus mengalir mencemari lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Pusat dan Daerah. Mungkin karena demokrasi kita adalah demokrasi mutanajis, maka berbagai pembaharuan sistemik yang saya sebutkan di awal tulisan tak kunjung melahirkan good governance. Wallahu a’lam

Sunday, February 15, 2009

Kontraversi Moralitas Pejabat Publik

Rakyat Merdeka online
Sabtu, 14 Februari 2009, 14:37:59 WIB
GAZEBO

Catatan Buya A.A. Aru Bone*


Tentu anda ingat sejumlah pemberitaan kurang beruntung tentang
kehidupan pribadi beberapa anggota DPR dan DPRD yang berselingkuh
dengan wanita lain, memalsukan pernikahan, poligami, mengkonsumsi
narkoba dan lain-lain.

Karena gencarnya pemberitaan media massa tentang kehidupan pribadi
mereka yang mengundang sorotan publik, beberapa dari mereka kehilangan
jabatan, ada yang dipenjara, sebagian lainnya sedang diselidiki apakah
layak diberi sanksi atau tidak.

Media massa memang sangat menyukai pemberitaan tentang pejabat publik
dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Sebab, hampir bisa
dipastikan, kemana pun anda pergi, pemberitaan media massa akan
menempatkan kisah tak beruntung sang pejabat publik sebagai berita
yang sering muncul sebagai headline.

Secara umum ada dua persepsi publik ketika membaca berita seperti itu.
Pertama, pada umumnya berita-berita seperti itu dipersepsikan sebagai,
diantara bukti yang mencerminkan menurunnya standar moral.

Tentu saja sebagian tidak setuju dengan persepsi tersebut. Kelompok
kedua ini mempersepsikan, sering munculnya berita-berita seperti itu
bukanlah pertanda kita kurang bermoral.

Kalangan kedua biasanya menilai, apapun yang dilakukan seorang pejabat
publik dengan kehidupan pribadinya tidak masalah selama tidak
merugikan yang lain. Karenanya, bagi yang menganut persepsi kedua ini,
masalah moral yang sesungguhnya bukanlah skandal seksual, poligami,
konsumsi narkoba dan alkohol, melainkan kemiskinan, kebodohan, korupsi
dan seterusnya.

Perbedaan dua persepsi ini sebenarnya terletak pada apa yang menjadi
fokus moralitas. Apa yang pantas menjadi fokus moralitas pada tindakan
(mantan) Wakil Ketua DPR, Zaenal Maarif yang memutuskan poligami tanpa
izin istri pertama?

Apa yang layak menjadi fokus moralitas pada tindakan Ketua Komisi V
DPR, Ahmad Muqowam yang menelantarkan istri dan memalsukan pernikahan
agar dapat menikahi wanita lain? Apa yang pantas menjadi fokus
moralitas dalam tindakan anggota Fraksi PKS DPRD Jambi, Zulhamli Al
Hamidi menikmati layanan pijat di panti pijat?

Penganut persepsi pertama tentu menjawab, setidaknya para tokoh publik
itu telah mengkhianati dan mentelantarkan istri, keluarga dan
menyakiti perasaan orang-orang terdekat mereka. Karena itu, mereka
layak mendapat sanksi administratif, bahkan hukum.

Tapi penganut persepsi kedua bisa juga mengatakan, tindakan semacam
itu lebih merupakan titik kulminasi naik turunnya kehidupan, ketimbang
sebagai pembahasan utama tentang moral.

Karena itu, sanksi atas tindakan seperti itu layaknya hanya melibatkan
(diberikan) oleh pihak-pihak yang terlibat secara langsung dengan si
pejabat sebagai individu dalam kehidupan pribadinya. Atau menyerahkan
pertanggungjawabann ya kepada Tuhan, tanpa mengaitkannya dengan
kehidupan publik pelaku sebagai pejabat publik.

Maka letak perbedaan persepsi antara dua kubu adalah; antara mereka
yang meletakan penilaian fokus moral pada tindakan kehidupan pribadi
versus mereka meletakan penilaian fokus moral pada tindakan publik,
dimana tindakan si pejabat berpengaruh pada sejumlah pihak lain.

Tentu saja, tidak ada yang menilai bahwa moralitas sepenuhnya terkait
dengan tindakan pribadi semata atau tindakan publik semata. Tapi
bagaimanapun, perbedaan dalam fokus penekanan tetap penting.

Yang jelas, ada dua poin penting yang perlu digaris bawahi dari dua
persepsi kontroversial tersebut; menurut persepsi pertama, si pejabat
publik telah cacat moral dalam kehidupan pribadinya dan cacat itu
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan publiknya.

Konsekuensinya, pertanggungjawabann ya bukan hanya pertanggungjawaban
dalam kapasitas pribadi, tetapi juga berkorelari dengan kehidupan
publiknya.

Tetapi menurut persepsi kedua, tindakan tersebut meski belum tentu
merupakan cacat moral, tetapi merupakan kesalahan. Namun
pertanggungjawaban atas kesalahan dalam kehidupan pribadi tidak serta
merta berkorelasi dengan kehidupan publiknya, cukuplah sanksinya
persifat personal yang terkait dengan kehidupan pribadinya yang ia
dapatkan dari dirinya sendiri, Tuhan atau orang-orang dalam kehidupan
pribadinya.

Layakkah Dipecat?

Pertanyaan ini tetap harus diajukan meski sikap masing-masing persepsi
telah kita dapatkan. Pertanyaan ini bisa juga diganti dengan dua
bentuk pertanyaan berbeda tetapi tetap dengan substansi yang sama,
yaitu, apakah publik berhak memiliki pejabat publik yang memiliki
kehidupan pribadi dan kehidupan publik yang baik?

Jika anda penganut persepsi pertama, pasti jawabannya, publik berhak
mendapatkan pejabat publik yang memiliki kehidupan pribadi dan
kehidupan publik yang baik. Maka, di negara demokrasi publik bukan
saja berhak tahu kehidupan personal pejabat publiknya, tapi juga
berhak menuntut pejabat tersebut dipecat dari jabatannya plus sanksi
personal dari keluarga jika keluarganya memberi sanksi.

Tapi jika anda penganut prinsip kedua, mungkin akan menjawab, di
negara demokrasi publik berhak tahu informasi apapun yang ingin ia
ketahui, termasuk kehidupan pribadi pejabat publiknya. Tetapi publik
tidak berhak menuntut mereka diberhentikan dari jabatannya.

Alasannya, di sebuah negara berdemokrasi semua orang berhak tahu semua
informasi yang ingin diketahui, termasuk kehidupan pribadi orang lain
(apalagi pejabat publik) tanpa harus ikut campur dalam kehidupan
pribadi (privacy) yang telah berhasil diketahuinya. Wallahu a'lam

* Penulis adalah pekerja media, alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Thursday, January 8, 2009

(Akankah) Setengah putus asa dia berucap... maaf ibu...